Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Privatisasi Pariwisata Bahari

Kompas.com - 20/03/2009, 16:16 WIB

KOMPAS.com - LAUT sebagai sebuah entitas ekosistem yang sedemikian kaya sekarang semakin menarik selera para penanam modal, terutama di bidang pariwisata, karena pemerintah mulai mencoba menggali sumber-sumber daya pariwisata sebagai antisipasi habisnya sumber daya alam.

Pariwisata diyakini merupakan salah satu jalan keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam.

Pariwisata bahari kemudian datang sebagai ”pendatang baru” di dunia pariwisata yang selama ini banyak terkonsentrasi di hinterland. Orientasi sekonyong-konyong pindah ke daerah pantai dan laut karena pariwisata daratan kemudian berkonotasi dengan kehancuran sehingga semakin menurunkan daya saing pariwisata.

Wisata bahari selama ini masih sedemikian sempit pengembangannya. Tujuan wisata untuk wisata bahari pun masih amat terbatas, di antaranya Bali dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara wisata bahari yang berbasiskan pulau-pulau kecil belum digarap. Kekayaan yang sudah terinventarisasi saat ini adalah 59 pulau potensial dan 13 pulau unggulan. Kondisi seperti itu sudah menjanjikan bahwa pariwisata bahari Indonesia memiliki nilai jual tinggi karena ekosistem dan alam lautnya amat menarik.

Dengan modalitas pariwisata bahari berupa ketertarikan pada keunikan ekosistem dan sumber daya bahari serta pada interaksi sosial dan praktik-praktik lokal yang ”unik” kebaharian, yang patut dikembangkan adalah pariwisata bahari (marine ecotourism).

Istilah ecotourism bukanlah ”obat paling manjur” yang dapat mengobati ”kerusakan akibat kegiatan pariwisata”. Pariwisata yang dihayati dan dipraktikkan selama ini dengan taman-taman, daerah perbelanjaan, kuliner, dan produk ecotourism artifisial lainnya ternyata (nyaris selalu) tidak baik bagi lingkungan yang menjadi obyek jualan ecotourism itu sendiri.

Yang perlu digarisbawahi adalah lingkungan itu rentan dan sensitif dengan perubahan besar yang berlangsung secara tiba-tiba, termasuk di dalamnya hewan, tanaman, dan masyarakat yang ada di dalamnya (masyarakat lokal).

Ada kecurigaan bahwa perubahan amat cepat dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan ini bukan didorong oleh itikad untuk berbuat lebih baik dari yang sebelumnya (di daratan), melainkan didorong semata-mata oleh keinginan mencari pengganti (daratan) saja atau replacement.

Aksesibilitas

Pembangunan atau apa pun istilahnya, sentuhan investor pada sebuah sumber daya alam yang selama ini terjadi telah meninggalkan ”trauma” tersendiri kepada masyarakat lokal. Kisah-kisah pembangunan/penanaman modal di bidang pertambangan dan perkebunan selama ini hanya berupa kisah-kisah kelabu dan kisah pilu masyarakat lokal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com