Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (194): Menanti Hujan

Kompas.com - 04/05/2009, 08:02 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

          “Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.”

Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana.

Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu.

Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada pula lubang pintu tanpa daun pintu, sehingga kambing dan domba pun sering bertandang mencari sesuap rumput yang tercecer di atas pasir di dalam rumah.

Chowra tempat saya tinggal ini istimewa, khusus untuk tempat menginap tamu yang datang. Setiap desa punya minimal satu. Acara kumpul desa atau rapat juga selalu diadakan di sini. Biasanya para pria duduk-duduk di sini dan menghabiskan waktu dengan mengobrol sepanjang sore. Rumah ini disebut otagh, atau kalau dalam versi Indonesia mungkin setara dengan ‘balai desa’.

Ada tiga charpoy, dipan kayu beralaskan tali tampar. Jamal menyiapkan kasur kumal dan selimut berdebu di atas salah satu charpoy, tempat tidur saya malam ini. Debu dan pasir langsung mengepul tebal begitu kasur ini ditepuk.

          “Jangan kuatir, pasir ini adalah makanan sehari-hari kita di sini,” hibur Jamal.

Kami duduk di luar otagh, menikmati senja yang mulai membungkus angkasa. Sejauh mata memandang, hanya gundukan pasir kuning menghampar sejauh batas cakrawala. Angin gurun terus bertiup kencang. Saya sudah kenyang. Mulut dan kerongkongan ini penuh butir-butir pasir.

Betapa muram kehidupan di sini, batin saya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com