Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (197): Menanti Mimpi Menjadi Nyata

Kompas.com - 07/05/2009, 08:17 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Subuh. Adzan mengalun merdu dari masjid mungil bertembok lempung di dusun Ramsar, di pedalaman gurun Thar. Lantunan lembut mengawali pagi yang masih gelap gulita. Tak perlu pengeras suara, tak perlu teriak-teriak. Alunan adzan ini menyejukkan kalbu. Sang imam adalah pria tinggi bertubuh kurus dan berkumis lebat, berjubah dan bersarung. Umatnya tak banyak. Orang masih sibuk memikirkan perut yang keroncongan dan kerongkongan yang kekeringan.

Sebuah hari baru pun bermula lagi di Ramsar. Nenek-nenek tua memulai kegiatan setiap pagi, mengaduk-aduk ampas gandum dengan air. Bocah-bocah menggembalakan sapi dan kambing ke tengah jungle. Ibu-ibu membikin roti chapati. Jamal bersiap mandi.

Ritual mandi Jamal sangat sederhana. Airnya cuma dua timba kecil. Itu sudah termasuk mewah. Jamal suka mandi tiap hari, tetapi karena sekarang air sedang langka, biasanya cuma dua hari sekali. Anak-anaknya malas mandi. Semua kumal dan kotor, karena tiap hari cuma bermandi debu dan pasir.

Sehabis mandi, roda kehidupan desa ini kembali bergulir ke monotonnya padang gersang. Angin menerbangkan debu-debu, mengisi sudut-sudut kerongkongan. Masih pasang-pasang kaki yang sama, masih tak beralas, menggesek pasir-pasir lembut, menyusuri jalan panjang mencari air. Masih kambing-kambing yang sama, mengembik meratap, mencari serpihan biji-bijian yang tersisa di atas gundukan pasir. Masih kumbang-kumbang besar yang sama, beterbangan ke sana ke mari, menyebarkan bunyi dengungan yang tak enak didengar.

Para pria dusun mulai duduk-duduk, melewatkan waktu. Menyaksikan angin, kumbang, rumput, gubuk-gubuk, sumur, unta, kambing, gundukan pasir, semuanya pemandangan yang sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun. Obrolan-obrolan tak banyak makna mengisi kekosongan pada aliran waktu yang merangkak lambat-lambat.

Bocah-bocah juga punya miliaran detik untuk dibuang-buang. Di sini tak ada yang memikirkan pe er atau ulangan. Siang yang terik dihabiskan dengan bergulat di atas pasir. Kalau sudah bosan, giliran hewan-hewan malang yang diadu. Yang paling bandel adalah kumbang-kumbang hitam dan besar itu, yang kakinya panjang-panjang, bergerak lincah dalam keputusasaan, dan menghasilkan suara melengking-lengking. Kambing jantan juga seru. Gemeretak bunyi tanduk-tanduk yang beradu, serta aksi kambing yang mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi sebelum menjatuhkan tandukknya ke tubuh lawan, mengundang sorak sorai bocah-bocah.

Demikianlah rutinitas orang-orang padang gurun yang hidup dalam kebosanan, yang setiap hari disiram bulir-bulir pasir halus yang merambah relung-relung hati. Tetapi sebenarnya mereka sedang hidup dalam penantian. Menantikan datangnya mukjizat yang mengubah garis hidup mereka.

Saya teringat beberapa desa yang pernah saya kunjungi bersama-sama petugas lapangan dari LSM Sami Samaj Sujag Sangat. Debu yang beterbangan membungkus mobil kami sama sekali tidak menghalangi bocah-bocah yang bersorak gembira menyambut kedatangan ‘tamu agung’ dari ‘dunia modern’.. Mereka berlari-larian, melompat-lompat, merayakan kebahagiaan tiada tara untuk sejenak waktu dibebaskan dari kebosanan hidup yang itu-itu saja.

Sudah sekian lama saya hidup bersama orang-orang desa Ramsar. Saya pun ikut meloncat gembira melihat truk tua bergetar-getar dari kejauahan. Gerakannya lambat, getaran vertikal naik turunnya malah lebih dahsyat. Debu mengepul hebat. Truk tua ini seakan menyeruak dari dunia lain, dari jalan beraspal mulus yang membentang di seberang sana, menuju ke alam Ramsar di tanah pasir gersang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com