Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Sultan Riau Dibangun dengan Putih Telur?

Kompas.com - 06/06/2009, 09:11 WIB

KOMPAS.com — Sebagai umat yang taat, sejumlah cara dapat dilakukan untuk mengagungkan Kebesaran Sang Pencipta, termasuk di antaranya mendirikan tempat ibadah yang seindah mungkin. Sebut saja, masjid Kubah Emas Dian Al Mahri di Depok yang kesohor atau Masjid Al Akbar di Surabaya. 

Namun, ada pula masjid yang dibangun dengan keunikan tersendiri sehingga membuat tempat ini menjadi luar biasa. Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, adalah salah satunya. Konon, bangunan masjid ini dibuat dengan putih telur sebagai perekat.

Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman Sultan Kerajaan Riau pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.

Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut. 

Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.

Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini. 

Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Bahkan, hingga kini masjid ini masih digunakan oleh warga untuk beribadah. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.

Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau Penyengat, pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India. 

Susunan kubahnya bervariasi mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari. 

Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Al Quran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com