Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semalam di Kuala Lumpur

Kompas.com - 01/07/2009, 14:56 WIB

Tidak jauh dari Central Market, ada lagi sebuah pasar yang disebut sebagai Petaling Street Market. Kebanyakan orang juga menyebutnya sebagai The Chinese Market. Sebagian ruas Jalan Petaling ini diberi atap. Ruko-ruko masa lalu di kedua sisi jalan wajib memenuhi undang-undang untuk tidak diubah penampilannya.

Petaling Street Market dipenuhi penjaja suvenir bernuansa Tionghoa dan barang-barang kerajinan impor dari China berharga murah. Di sela-sela gang, masih difungsikan sebagai pasar basah yang sama sekali tidak becek. Mirip gang-gang di kawasan Petak Sembilan, Glodok.

Malam harinya, karena saya pikir masih kenyang dari makan siang yang kesorean, saya sudah siap-siap kembali ke hotel. Tetapi, ternyata istri masih ingin makan malam.

“Kali ini, masakan Italia,” begitu titahnya. Wuah! Serius, nih?

Saya lihat arloji. Sudah lewat pukul sembilan malam. Restoran Italia yang “normal” tentulah sudah menjelang tutup. Untunglah saya segera ingat kawasan dugem di Jalan P. Ramlee, tidak jauh di belakang KLCC. Selama ini saya bahkan tidak pernah “dekat-dekat” ke kawasan itu. Maklum, di kalangan warga kulit putih, kawasan ini lebih dikenal sebagai “the pick-up place”, tempat untuk mencari perempuan yang bisa diajak pulang.

Kali ini, karena dikawal langsung oleh pangtujuhpanglima adalah jabatan tertinggi di militer, padahal istri lebih tinggi dari panglimamaka saya berani melakukan sidak (inspeksi mendadak, bukan infeksi mendadak!) ke tempat itu.

Sudah hampir pukul sepuluh ketika kami tiba di sana. Entah kenapa, tanpa diinstruksikan pun sopir menghentikan taksi di depan Beach Club. Musik berdentam keras. Di tengah keremangan, kami melihat sangat banyak perempuan muda berpakaian seronok di kafe yang memang terbuka itu.

“Kamu sering ke sini, ya?” tanya pangtujuh menyelidik. Duh, salah lagi!

Setelah melewati Beach Club, ada beberapa restoran yang cukup sopan. Tetapi, di depan ada lagi Kilimanjaro Club dengan perempuan-perempuan seronok “melimpah” hingga lebuh jalan. Kami balik kanan menuju restoran-restoran sopan. Tadi kami sempat melihat Modesto yang menawarkan masakan Italia. Tetapi, saya lebih berminat mencoba Maredo’s Steakhouse yang menawarkan daging sapi dari Argentina.

Argentina memang identik dengan bife atau beef. Negeri jauh di Selatan itu sangat kaya dengan pampas (padang rumput) yang menghijau. Sapi-sapi menemukan surga di sana. Tidak heran bila Argentina sangat terkenal dengan mutu daging sapinya. Argentina juga menduduki peringkat kedua dalam konsumsi daging sapi, setelah Amerika Serikat. Padahal, bila Amerika Serikat berpenduduk 250 juta, penduduk Argentina hanya 40 juta. Mudah diduga, konsumsi daging sapi per kapita di Argentina jauh lebih tinggi daripada di manapun di dunia. Dari sebuah info yang saya dapat, konsumsi daging sapi di restoran-restoran di Argentina adalah rata-rata dua pon (hampir satu kilogram) per tamu setiap kali datang, baik laki-laki, maupun perempuan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com