Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semalam di Kuala Lumpur

Kompas.com - 01/07/2009, 14:56 WIB

KOMPAS.com — Bagi orang-orang berusia lanjut seperti saya, mendapat clean bill of health (pernyataan semua sehat dan baik) dari dokter selalu merupakan berita istimewa. Kolesterol baik, gula darah baik, asam urat baik, trigliserida terkendali, tekanan darah sempurna, jantung sehat tanpa gangguan, begitu pula prostat. Bio-markers yang memberi indikasi kanker pun tampak aman-aman saja.

Selain karena kemurahan Tuhan, artinya kerja keras menjaga kesehatan dan kebugaran selama setahun tidaklah sia-sia. Kami memang punya disiplin untuk memeriksakan kesehatan setahun sekali. Khusus untuk saya, dengan job hazard yang cukup tinggi, ditambah dengan periksa darah setiap enam bulan.

“OK, sekarang kamu boleh makan nasi india,” kata istri saya yang juga menerima kabar sama tentang kesehatannya. Artinya, dia bersedia menemani saya makan banyak. Soalnya, masakan indiaseperti juga masakan padangsulit dimakan dengan sedikit nasi. Bahasa Jawanya: nglawuhi.

Horeee! Tetapi, karena jam makan siang sudah lama lewat, kami pun akhirnya memilih Nasi Kandar Pelita yang letaknya di antara Hotel Nikko dan Menara Kembar Petronas. Waralaba ini mulai terkenal di Penang, dan kemudian membuka banyak gerai di kota-kota Malaysia lainnya. Bukan masakan india tulen, melainkan sudah mengalami akulturasi dalam budaya kuliner Melayu. Tetapi, di Pelita, nasi briyani dan gulai kepala ikannya autentik ng-india.

Selain memesan nasi briyani dan gulai kepala kakap, kami juga memesan ayam tandoori, tumis kol, telur masin, dan ekstra okra (bindih, lady’s fingers). Semuanya “patoet dipoedjiken koealitet”-nya.

Sukses kekenyangan di Pelita, kami putuskan untuk berjalan-jalan di KLCC. Untuk pertama kalinya, kami mendapati KLCC terasa lengang. Mungkin karena pengaruh krisis global. Tetapi, lebih mungkin lagi karena wisatawan Indonesia yang biasa meramaikan KLCC belum berdatangan. Di bagian food court pun terasa sekali kelengangan itu. Siapa bilang Indonesia hanya mengirim TKI ke Malaysia? Kalau wisatawan Indonesia tidak datang ke Malaysia, pastilah angka kunjungan wisata ke Malaysia merosot drastis. Soalnya, sekalipun sukses mempromosikan Malaysia sebagai tujuan wisata yang “Truly Asia”, mentalitas pengemudi taksi di Kuala Lumpur tidak beda dengan di Jakarta. Selalu “menodong” dengan tarif non-meter. Paling rendah 10 ringgit (sekitar Rp 30.000).

Lengangnya KLCC membuat saya ingin jalan-jalan ke Central Market, masih tetap dengan tujuan untuk membuang kalori setelah late lunch dengan porsi berlebihan. Setiap kali ke Central Market, saya selalu ingat tugas saya di BPPI (Badan Pelestarian Pusaka Indonesia) untuk mengajak para wali kota melakukan studi banding ke beberapa pasar tradisional.

Central Market Kuala Lumpur ini adalah salah satu contoh kasus yang baik. Dibangun oleh Inggris pada tahun 1888 ketika menguasai Semenanjung Malaya, pasar berlantai dua ini masih utuh hingga sekarang. Bahkan, sejak beberapa tahun yang lalu telah dinyatakan sebagai laman pusaka (heritage site) oleh Pemerintah Malaysia. Sejak menjadi laman pusaka, pasar ini beralih fungsi. Bila semula merupakan pasar basah yang memenuhi kebutuhan pangan warga, sekarang Central Market telah menjadi Cultural Shopping Centre (Pasar Seni atau Pasar Budaya).

Dari luar, Central Market di Jalan Hang Kasturi ini bentuknya mirip dengan Ben Tanh Market di Ho Chi Minh City, Vietnam. Juga sangat mirip dengan Central Market di Casablanca, Maroko, atau pasar-pasar basah beratap yang hingga kini masih beroperasi di Paris. Ubin kuno bermotif masih tampak asli. Dinding luarnya dicat baru dengan warna baby blue yang sedap dipandang. Di dalam pasar, terdapat ratusan kios yang menjajakan berbagai kerajinan khas Malaysia. Lucunya, sangat banyak barang kerajinan di situ yang tampak jelas hasil produksi Indonesia. Barang-barang buatan India dan Thailand pun banyak terwakili di situ. Tidak heran bila Central Market merupakan one-stop shopping bagi para wisatawan yang perlu membeli suvenir sebagai oleh-oleh.

Baik di lantai satu, maupun lantai dua Central Market, terdapat beberapa tempat minum dan makan yang ditata bagus sesuai dengan gaya tempo doeloe. Di luar pasar, penjual makanan tradisional berjejer-jejer. Bangunan-bangunan ruko masa lalu pun dilestarikan di sepanjang jalan di sisi-sisi Central Market. Sungguh, sebuah contoh pelestarian kawasan pusaka yang berhasil.

Tidak jauh dari Central Market, ada lagi sebuah pasar yang disebut sebagai Petaling Street Market. Kebanyakan orang juga menyebutnya sebagai The Chinese Market. Sebagian ruas Jalan Petaling ini diberi atap. Ruko-ruko masa lalu di kedua sisi jalan wajib memenuhi undang-undang untuk tidak diubah penampilannya.

Petaling Street Market dipenuhi penjaja suvenir bernuansa Tionghoa dan barang-barang kerajinan impor dari China berharga murah. Di sela-sela gang, masih difungsikan sebagai pasar basah yang sama sekali tidak becek. Mirip gang-gang di kawasan Petak Sembilan, Glodok.

Malam harinya, karena saya pikir masih kenyang dari makan siang yang kesorean, saya sudah siap-siap kembali ke hotel. Tetapi, ternyata istri masih ingin makan malam.

“Kali ini, masakan Italia,” begitu titahnya. Wuah! Serius, nih?

Saya lihat arloji. Sudah lewat pukul sembilan malam. Restoran Italia yang “normal” tentulah sudah menjelang tutup. Untunglah saya segera ingat kawasan dugem di Jalan P. Ramlee, tidak jauh di belakang KLCC. Selama ini saya bahkan tidak pernah “dekat-dekat” ke kawasan itu. Maklum, di kalangan warga kulit putih, kawasan ini lebih dikenal sebagai “the pick-up place”, tempat untuk mencari perempuan yang bisa diajak pulang.

Kali ini, karena dikawal langsung oleh pangtujuhpanglima adalah jabatan tertinggi di militer, padahal istri lebih tinggi dari panglimamaka saya berani melakukan sidak (inspeksi mendadak, bukan infeksi mendadak!) ke tempat itu.

Sudah hampir pukul sepuluh ketika kami tiba di sana. Entah kenapa, tanpa diinstruksikan pun sopir menghentikan taksi di depan Beach Club. Musik berdentam keras. Di tengah keremangan, kami melihat sangat banyak perempuan muda berpakaian seronok di kafe yang memang terbuka itu.

“Kamu sering ke sini, ya?” tanya pangtujuh menyelidik. Duh, salah lagi!

Setelah melewati Beach Club, ada beberapa restoran yang cukup sopan. Tetapi, di depan ada lagi Kilimanjaro Club dengan perempuan-perempuan seronok “melimpah” hingga lebuh jalan. Kami balik kanan menuju restoran-restoran sopan. Tadi kami sempat melihat Modesto yang menawarkan masakan Italia. Tetapi, saya lebih berminat mencoba Maredo’s Steakhouse yang menawarkan daging sapi dari Argentina.

Argentina memang identik dengan bife atau beef. Negeri jauh di Selatan itu sangat kaya dengan pampas (padang rumput) yang menghijau. Sapi-sapi menemukan surga di sana. Tidak heran bila Argentina sangat terkenal dengan mutu daging sapinya. Argentina juga menduduki peringkat kedua dalam konsumsi daging sapi, setelah Amerika Serikat. Padahal, bila Amerika Serikat berpenduduk 250 juta, penduduk Argentina hanya 40 juta. Mudah diduga, konsumsi daging sapi per kapita di Argentina jauh lebih tinggi daripada di manapun di dunia. Dari sebuah info yang saya dapat, konsumsi daging sapi di restoran-restoran di Argentina adalah rata-rata dua pon (hampir satu kilogram) per tamu setiap kali datang, baik laki-laki, maupun perempuan.

Di Maredo’s, untungnya, porsinya sudah agak di-internasional-kan. Seporsi bife de chorizo berat dagingnya “hanya” 450 gram. Sebetulnya saya agak terkejut ketika yang datang ternyata bukan chorizo yang saya duga. Secara umum, dalam bahasa Spanyol maupun di dunia kuliner, chorizo adalah sosis, bisa dari daging sapi atau babi. Di Maredo’s bife de chorizo adalah daging tebal dari prime rib.

Biasanya, steak Argentina tampil sederhana. Daging panggang model gauchos (cowboys) dengan saus dari parsley dan cuka yang disebut chimichurri, kentang ongklok, dan sedikit selada. Di Maredo’s, seladanya dari daun arugula dengan saus balsamik. Steaknya mak nyuss, dengan tingkat kematangan yang pas. Harganya cukup mahal, sekitar Rp 250.000.

Menu paling mahal di Maredo’s adalah Mixed Parilla on Gaucho Skewer yang total dagingnya seberat 850 gram. Cocok untuk mereka yang kelaparan. Dibanderol dengan harga sekitar Rp 750.000. Isinya: daging sapi, kambing, babi, ayam, sosis, kerang, dan lobster. 

Berani???

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com