Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catur Gatra Tunggal

Kompas.com - 27/07/2009, 08:37 WIB

Minggu lalu saya mengikuti sebuah diskusi tentang rencana pelestarian dan pemanfaatan gedung Bank Indonesia di Yogyakarta. Gedung ini merupakan bangunan pusaka (heritage building), diresmikan 127 tahun yang lalu sebagai kantor De Javasche Bank. Kita tahu, di beberapa kota besar Indonesia, Bank Indonesia memiliki bangunan-bangunan pusaka peninggalan De Javasche Bank yang selama 125 tahun beroperasi di Nusantara. Sebagian besar bangunan itu masih terpelihara dengan baik. Yang di bagian Kota Tua Jakarta bahkan baru saja diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Museum Bank Indonesia.

Bangunan berarsitektur klasik milik Bank Indonesia di Yogyakarta ini terletak di Jalan Senopati – di ujung persimpangan dengan Jalan Malioboro. Masyarakat mengenal kawasan ini sebagai Titik Nol – yaitu titik yang dianggap pusat Kota Yogyakarta. Di kawasan ini ada beberapa bangunan pusaka lainnya, seperti Benteng Vredeburg, dan Gedung Agung (Istana Kepresidenan Republik Indonesia).

Kepedulian tentang bangunan pusaka – dan heritage pada umumnya – memang sedang naik daun, sekalipun itu semua belum sepenuhnya mencegah perusakan dan pemusnahan terhadap pusaka Indonesia yang luar biasa kaya. Contohnya, PTKI (PT Keretapi Indonesia), dalam reorganisasinya baru-baru ini menunjuk seorang direktur khusus untuk menangani heritage assets yang dimilikinya. Bank Indonesia pun tampaknya menuju ke arah sana. Dalam rencana pelestarian dan pemanfaatan bangunan pusakanya, BI juga merencanakan pembentukan Dewan Kurator untuk pengelolaan bangunan-bangunan pusaka miliknya.

Tentu saja, akan selalu muncul keinginan untuk membuat museum di bangunan-bangunan pusaka seperti itu. Bank Mandiri di Jakarta telah mengubah bangunan pusakanya di kawasan Kota Tua Jakarta. Demikian juga Bank Indonesia. Gedung pusaka Bank Indonesia di Padang pun sudah direvitalisasi menjadi museum.

Museum memang “godaan” yang paling menarik dan paling sesuai untuk memenuhi tujuan pelestarian. Tetapi, apakah pemanfaatannya akan optimum? Di seluruh Indonesia, kita sudah belajar dari pengalaman bahwa museum selalu merupakan cost center, bukan profit center. Bukankah museum-mindedness di kalangan warga bangsa kita juga masih rendah?

Pada diskusi itu saya mengemukakan, antara lain, sebuah contoh yang dilakukan oleh The Farmers and Mechanics Bank di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat. Lembaga bank-nya sendiri sudah tidak ada lagi, karena sudah lebur dalam lembaga bank lain yang lebih besar. Gedung klasik bank itu sudah beberapa kali berpindah tangan. Kini, gedung pusaka itu menjadi The Bank Restaurant – restoran fine-dining paling top di Minneapolis. Bangunannya utuh. Beberapa benda-benda antik bank di masa lalu dipakai sebagai elemen dekor yang membuat restoran ini sangat cantik dan anggun.

Saya mencatat satu butir pandangan peserta diskusi yang sangat berharga dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan gedung Bank Indonesia di Yogyakarta itu. Ia berpendapat agar dalam upaya memberi kemanfaatan ekonomis terhadap bangunan yang dilestarikan itu, tidak dilupakan pemikiran untuk juga melestarikan martabat bangunan itu. Seperti juga manusia, gedung pun memiliki dignity masing-masing – apalagi karena gedung ini dimiliki lembaga bermartabat seperti Bank Indonesia.

Pandangan seperti itu sebetulnya sudah ditegaskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang hadir untuk membuka diskusi itu. “Kota harus mencerminkan wajah masyarakat yang plural,” kata Sri Sultan dalam sambutannya. “Dan Titik Nol Yogyakarta ini dalam pengembangannya harus mengacu pada visi untuk membuatnya sebagai The Cultural Quarter of Yogyakarta. Sejak dulu Titik Nol Yogyakarta memiliki citra dan karakter yang unik. Itu harus tetap dilestarikan,” tambah Sri Sultan.

Dalam sambutannya itu, Sri Sultan juga menekankan pentingnya meninjau kembali nilai-nilai luhur tata ruang dalam bahasa Jawa. Dalam budaya Jawa dikenal konsep Catur Sagotra atau Catur Gatra Tunggal – yaitu empat elemen dalam satu unit. Pusat kota ditandai dengan sebuah lapangan luas berbentuk segi empat yang disebut alun-alun. Di satu sisi alun-alun ada kraton (istana), di sisi-sisi lain ada masjid, pasar, dan penjara. Pada kota yang lebih kecil, kehadiran kraton sebagai tempat kedudukan raja diganti dengan kabupaten, atau kawedanan – sesuai dengan tingkatan kotanya.

“Dalam konsep Catur Sagotra ini, yang penting dimengerti adalah bahwa kraton terpadu dalam interaksi masyarakat kota secara langsung. Ruang publik langsung berada di depan kraton,” kata Sri Sultan. “Dan itulah yang membedakan kota-kota di Jawa dengan di Eropa atau Amerika, misalnya.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com