Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Makan Bersama

Kompas.com - 04/09/2009, 15:35 WIB

Tulisan saya minggu lalu tentang Megibung ditanggapi seorang pembaca yang rupanya ingat bahwa sekitar tahun 1970-an di Sulawesi Utara, masyarakat Minahasa masih sering menyelenggarakan acara makan bersama. Nasi dan makanan disajikan di atas selembar daun pisang (utuh dengan tulang/tangkai daun di tengah), dan para tamu duduk berkeliling menyantap makanan itu.

Catatan itu mengingatkan acara yang pernah diselenggarakan Komunitas Jalansutra sekitar dua tahun silam. Lebih dari 50 JS-ers “kencan” untuk bertemu di sebidang sawah di Desa Gasol, Cianjur. Acara ini berawal dari posting Ika Suryanawati, yang bercerita tentang upayanya membudidayakan padi secara organik di sebidang sawah miliknya. Acara ini bahkan sempat kami ulangi bersama para pendengar Delta FM yang diselenggarakan oleh Ida Arymurti.

Sesudah melihat-lihat sawah, kami dijamu makan siang bersama yang tidak akan pernah kami lupakan. Seru banget. Caranya persis sama dengan yang disebutkan pembaca di atas. Artinya, Cianjur dan Minahasa punya kesamaan budaya?

Demikianlah, bila kita rajin menyimak persamaan dan kesamaan, sebetulnya perbedaan-perbedaan kecil yang ada pada berbagai produk dan praktik budaya warga dunia, justru merupakan warna-warni dan pelangi yang indah. Lauknya boleh beda, tetapi ternyata “ritual”-nya sama. Di Minahasa, barangkali lauknya adalah ayam tinoransak, ikan bakar rica, tumis bunga pepaya, dan perkedel nike. Di Cianjur, lauknya adalah ayam goreng bumbu kuning, ikan asin bakar, sayur asem, serta lalapan dan sambal. Wuih, lezatnya! Cara makan seperti itu membuat orang yang paling jaim (jaga imej) pun akan luluh dan makan banyak tanpa batas.

Bila dirunut, tradisi makan komunal di Minahasa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu sangat mungkin memang berasal dari tradisi Kristen. Di masa lalu, khususnya di kawasan Asia yang berbatasan dengan Eropa, para ibu mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan acara makan bersama di komunitasnya masing-masing. Pada waktu itu budaya tulis dan cetak belum mekar, sehingga penyampaian kisah-kisah Alkitab dilakukan oleh para ibu-ibu yang harus menghafalnya untuk disampaikan pada acara-acara makan malam bersama.

Dalam tradisi Islam pun kita melihat sangat banyak acara-acara keagamaan yang “dikemas” dalam acara makan-makan. Kita mengenal tradisi makan komunal di kalangan warga Arab. Di Restoran Hadramout, Jalan Tambak, Jakarta Pusat, misalnya, kita tidak dapat memesan makanan untuk seorang. Sajian selalu dikemas untuk empat orang atau lebih. Ada nasi khapsah, kambing atau ayam panggang, salad, dan sup. Para tamu “mengepung” makanan dan makan bersama dengan lahap. Kebiasaan ini “ditiru” dalam berbagai ritual folklorik.

Tahun lalu, ketika sempat berbuka bersama di Sana’a, Yemen, saya lihat tradisi makan bersama ini secara kental. Semua meja sudah dikelilingi enam orang sesaudara, sekerabat, atau sahabat. Nasi, kambing panggang, dan ikan bakar di tengah. Di kelilingnya ada gundukan-gundukan berbagai lauk. Rotinya selebar meja. Masing-masing mendapat semangkuk zorba (sop kambing dengan gandum). Saya selalu merinding bila ingat hiruk-pikuk kegembiraan buka puasa di rumah makan itu. Tuhan Maha Besar!

Saya juga suka mengingat-ingat masa kecil saya di Padang. Ayah sering mengajak saya menghadiri acara perkawinan adat. Setiap kali ada sekitar delapan tamu datang, langsung dipersilakan makan. Nasi dan lauk-pauk dihidangkan di tengah, dan para tamu makan berkeliling. (Tradisi ini masih berlangsung hingga kini).

Ketika kecil, saya sangat suka kentang. Apapun yang dibuat dari kentang, pasti membuat mata saya besar. Pertama kali ikut dalam acara makan komunal seperti itu, saya melihat perkedel kentang yang sangat besar – ukurannya memenuhi piring kecil. Air liur saya menetes-netes. Begitu dipersilakan makan, langsung perkedel besar itu saya sambar.

Ooops! Ternyata salah. Ayah mencuwil sedikit perkedel untuk saya, dan mengembalikan sisanya ke tengah lingkaran. Dengan sedih saya melihat perkedel itu dicincang dan dibagi-bagi berdelapan. Kenapa saya tidak boleh memilikinya sendiri? Begitukah aturan dalam tatanan kemasyarakatan orang-orang dewasa?

Di kalangan warga keturunan Tionghoa, makan bersama adalah tradisi. Di restoran-restoran Tionghoa, sebagian besar yang tersedia adalah meja besar bulat untuk 8-10 orang per meja. Istilah “makan tengah” yang populer di kalangan mereka berarti lauk-pauk di tengah, lalu disantap bersama.

Semua negara-negara Asia memiliki tradisi makan bersama yang unik. Di Vietnam, pengikat kebersamaannya adalah sepiring besar sayur-mayur segar, banh trang (kertas dari beras), dan beberapa piring kecil masakan protein: ayam, sapi, atau ikan yang ditaruh di tengah meja. Selembar kertas beras diisi beberapa lembar sayur dan beberapa cuil protein, lalu digulung menjadi semacam lumpia. Saya suka meniru tradisi ini, dan makan bareng cucu-cucu di rumah dengan cara ini.

Ketika berselancar di Internet mencari informasi tentang kebiasaan makan bersama, saya menemukan sebuah restoran di Manhattan, New York City, bernama Buddakan yang menyelenggarakan communal meal sebagai gimmick. Di restoran ini ada sebuah meja panjang yang disediakan justru untuk para tamu yang datang sendiri. Daripada kesepian, kenapa tidak berseronok bersama tamu-tamu lain yang juga semula datang sendiri-sendiri? Ide cemerlang ini ternyata disambut hangat untuk jenis konsumen New York yang memang seringkali jenuh karena harus makan sendiri sambil menatap layar televisi atau tembok kosong.

Menurut pemilik Buddakan, sejak itu ia sengaja menghadirkan meja-meja panjang untuk communal seating di restoran-restoran miliknya yang lain. "They provide a great core of energy," katanya tentang meja-meja itu. Tak heran, bahkan Drew Barrymore pun pernah sengaja memilih meja komunal itu untuk makan bareng orang-orang yang belum dikenalnya.

Dalam Google selanjutnya, ternyata saya menemukan sangat banyak restoran dan kafe modern di negara-negara Barat yang kini mengadopsi sistem communal seating ini. Diam-diam, di negeri maju yang semakin individualistis, semakin tebal muncul kerinduan akan hangatnya kebersamaan. Orang-orang yang datang sendiri-sendiri untuk makan malam, meninggalkan meja makan dengan perasaan gembira seolah-olah baru saja menghadiri pesta makan malam yang seronok.

Wah, itu mengingatkan saya pada sebuah meja panjang di wine house kami, Decanter, di Kuningan Plaza. Meja sepanjang enam meter ini punya sejarah istimewa. Semula adalah tiang listrik di zaman Hindia-Belanda, dari kayu jati, dibelah menjadi empat, dan kemudian dirangkai menjadi meja panjang yang muat untuk 20 orang makan. Selama ini, meja panjang ini selalu populer dipesan oleh orang-orang yang menyelenggarakan pesta ulang tahun kecil-kecilan.

Saya pikir, karena tidak setiap malam ada pesta ulang tahun di Decanter yang menggunakan meja panjang itu, justru saya ingin menyelenggarakan acara makan malam untuk orang-orang yang tidak saling kenal sebelumnya. Misalnya, Thursday Dinner for Copywriters, atau Friday Dinner for Singles. Mudah-mudahan teman lain setuju dengan prakarsa ini.

Maaf bila terdengar promosi, tetapi Decanter memang cocok untuk acara seperti itu. Soalnya, menu kami menampilkan family-style dining yang dinikmati secara bersama. Prinsip kami adalah: the best things in life are to be shared. Siapa tahu, obrolan yang berawal dari kelezatan tagliatelle lamb ragout akan berbuntut jenis bunga atau aroma parfum yang disukai. He he he, siapa tahu kelak akan ada pasangan-pasangan yang kemudian menikah gara-gara jatuh hati di meja panjang Decanter?

Berani?

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com