Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Si Putih Salju

Kompas.com - 14/12/2009, 17:00 WIB

Arrrggghhh….sebel bener rasanya diledek seperti itu. Orang yang meledek kami itu kini menjadi suami saya. Betul, dia Kang Dadang. Saat itu hubungan kami hanya sebatas kenalan, jadi saling meledek bagaikan adik kakak.

Ejekan itu ada benarnya. Paris membuat kami minder. Umumnya warga kota Paris membalut tubuh mereka yang anggun dengan mantel hitam atau berwarna gelap. Sementara kami berdua ngejreng abis, tapi mau bagaimana, sudah telanjur beli, masak mau ganti mantel hanya karena bikin silau mata orang. Lagipula, pikir kami, namanya juga turis jadi sah-sah saja kalau agak beda dikit.

Adaptasi

Kini,  memasuki tahun kesepuluh saya menetap di Perancis, tepatnya di Montpellier, kulit Indonesia saya sudah mulai terbiasa dengan hawa dingin yang menusuk. Pada tahun-tahun pertama saya harus mengenakan baju berlapis-lapis untuk menahan hawa dingin. Di rumah saja saya sering menggigil. Untuk ke luar rumah, saya wajib pakai celana dua lapis dan baju tiga lapis, itupun tebal-tebal. Padahal, saya tinggal di Perancis selatan. Kalau suami dapat pekerjaan di Utara, sudah pasti saya kabur ke Indonesia..

Dingin juga membuat kulit kampung saya protes berat. Kulit saya jadi pecah-pecah dan bersisik, bahkan bibir saya sempat luka. Payah memang saya ini, meski kerap ke luar negeri, badan ini masih sering menolak cuaca di negeri orang.

Setidaknya saya membutuhkan waktu hampir tiga tahun untuk beradaptasi dengan hawa dingin, terutama dengan tiupan angin yang begitu menusuk membuat kuping beku dan sakit. Sebagai orang yang terbiasa hidup dengan kehangatan matahari, saya belajar mengenal berbagai krim yang cocok bagi tubuh sesuai dengan musimnya. Semua membutuhkan proses dan belajar.

Akhirnya, dingin salju yang membekukan jari tangan dan kaki bisa juga saya nikmati setiap kali kami sekeluarga berlibur musim dingin. Anak pertama kami, Adam, pun harus berproses untuk bersahabat dengan dingin. Kali pertama mengenal salju, Adam terlihat tidak senang, bahkan tak mau menyentuhnya. Dia terus rewel, mungkin kedinginan.

Baru pada usia tiga tahun Adam terlihat menikmati gumpalan salju yang kami lempar sebagai permainan. Ia juga mulai berteriak senang saat menaiki papan luncur yang membawa tubuh kecilnya meluncur dari ketinggian.

Saya dan Adam membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa ceria menggumuli salju. Si kecil Bazile tampaknya juga begitu. Saat kami membawanya berlibur di musim dingin Februari lalu ke gunung salju ia tak henti menangis.
Memasuki musim dingin menjelang akhir tahun ini butiran salju yang turun masih memesona mata saya. Butiran putih yang jatuh dan menjadi air ketika disentuh telapak tangan, bisa menjadi gumpalan besar yang memenuhi jalan, taman dan menutupi kendaraan bahkan rumah.

Di daerah bersalju, orang mengeruk salju yang menutupi jalan masuk ke rumah mereka menjadi pemandangan lumrah. Di kota saya, paling hanya bertahan beberapa jam saja, kemudian mencair dan membuat jalanan menjadi licin. Kalau sudah begini, saya wajib keluar dengan sepatu khusus yang memiliki sol keras dan bergerigi. Kalau hanya pakai sepatu biasa….weittt siap-siap saja tergelincir.

Secara kasat mata, satu butir salju tampak begitu manja: putih, bersih, dan ringan. Tapi, bila mereka jatuh deras dalam jumlah banyak butir-butir ini bisa amat menyakitkan, terlebih bila disertai angin kencang. Bulir-bulir kecil itu bisa membahayakan bila berkumpul menjadi gumpalan besar. Ia bisa merobohkan manusia.

Gumpalan salju pertama saya buat bersama kakak saya saat liburan. Kami berdua membuat orang-orangan salju bersama teman-teman, menghiasinya, dan mengabadikan dalam foto yang kini terpajang di rumah orang tua.

Pengalaman pertama meluncur di atas ski berbuah kejengkelan karena kami selalu jatuh dan jatuh. Saat itu saya berkata dalam hati, jika ada kesempatan liburan musim dingin berikutnya saya ingin sekolah ski lebih dulu.

Sekarang,  Adam dengan lihai mengayunkan tubuhnya di atas papan ski. Meluncur dari ketinggian gunung menikmati cipratan salju yang menerpa wajahnya. Saya sendiri?  Saya cukup senang  dengan papan luncur saja, lebih aman bagi kaki saya yang kecil meluncur di atas si putih salju.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com