Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Si Putih Salju

Kompas.com - 14/12/2009, 17:00 WIB

Tanggal 21 Desember nanti adalah hari pertama memasuki musim dingin. Saya beruntung tinggal di Perancis selatan yang hawanya lebih hangat dibanding daerah Perancis lainnya. Sejak saya menetap di Montpellier salju yang turun di daerah ini bisa dihitung jari. Saking jarangnya, begitu ada salju turun…wuihhh anak-anak langsung berlarian menangkapi butiran salju. Sementara, orang dewasa biasanya mengabadikan kesempatan ini dengan kameranya.

Walaupun jarang turun salju, tapi ketika musim dingin tiba, kami tetap bisa bermain ski atau papan luncur di gunung Mont Aigoual, tak jauh dari kota kami, sekitar 1,5 jam. Saya pribadi yang sangat rentan dengan hawa dingin sama sekali tak mengeluhkan turunnya salju yang hanya dua hingga tiga tahun sekali.

Pertama kali saya mengenal salju ketika masih berusia remaja. Setiap kali ada kesempatan ke luar negeri, tak pernah sekalipun saya melihat salju, karena perginya selalu di saat musim panas. Maklum, saya kan bepergian ke luar negeri karena ikut ayah yang kebetulan ada acara. Jadi, bukan seratus persen untuk liburan.

Di kota Verbier Swiss lah saya pertama kali melihat dan menyentuh salju. Saat itu saya dan kakak saya berlibur di sana bersama keluarga kenalan kami. Saya dan kakak pernah berjanji, bila suatu saat dapat menyentuh salju, hal  pertama yang akan kami lakukan adalah memakannya dan telentang di atasnya.

Saat turun dari mobil, kami berdua langsung meraup salju dengan tangan kami dan memakannya. Lalu, kami berdua menjatuhkan badan di atas hamparan putih salju. Norak ya..hehe.. Ayah dari teman kami sampai ketakutan melihat tingkah kami.  Dipikirnya kami berdua mabuk selama perjalanan dari stasiun kereta hingga kota mereka tinggal.

Setelah kami jelaskan alasannya ia hanya geleng-geleng kepala. “Tak tahukah kalian kalau salju yang kalian makan itu kotor karena berada di jalanan. Entah sudah berapa sepatu yang lewat dan berapa ban mobil yang melintas,” katanya sambil tersenyum geli.

Sudah telanjur malu, kami berdua berlagak cuek. Padahal, hati ini mual juga membayangkan kotoran sepatu yang menempel di salju yang sudah masuk ke perut kami.  Saat itu, tak pernah terbayangkan suatu hari saya akan hidup di negara empat musim yang langitnya bisa menurunkan butiran salju.

Kenikmatan hidup di negara empat musim adalah berkah dari Allah bagi saya. Di situlah saya bisa merasakan betapa indahnya pergantian alam sesuai iklimnya. Ketika daun berguguran, menguning dan berserakan, dua bulan kemudian berganti dengan putihnya salju. Di lain waktu hawa dingin terusir oleh hangatnya mentari dan alam sekitar penuh keindahan warna-warni berbagai bunga. Tak lama setelahnya hawa panas menyengat dan menghitamkan kulit.
 
Setiap musim dingin tiba, entah mengapa kenangan berlibur di musim dingin bersama kakak selalu hadir di benak saya. Tiap kali mengambil mantel tebal dari almari, saya terkenang saat-saat kami mencari jaket musim dingin di Pasar Baru, Jakarta. Di tahun itu, pakaian musim dingin masih sangat sulit ditemukan di Jakarta. Ketika akhirnya kami bisa menemukan satu toko yang menjual peralatan lengkap musim dingin, bukan main girangnya.

Namanya juga masih ABG, tentu saja kami memilih jaket tebal yang warnanya sangat mencolok. Mengenakan jaket itu, rasanya kami jadi orang paling keren sedunia. Saya memilih warna hijau terang, sementara kakak memilih warna pink. Tak henti kami berdua bergaya di depan kaca.

Sebelum kami liburan di Verbier Swiss, kami berdua diundang juga berlibur oleh satu keluarga yang tinggal di Perancis. Saat dijemput di Airport, anak mereka mentertawakan kami dengan memanggil kami ‘Smurfs’. Katanya kami berdua kecil, pendek, dan warna warni.

Arrrggghhh….sebel bener rasanya diledek seperti itu. Orang yang meledek kami itu kini menjadi suami saya. Betul, dia Kang Dadang. Saat itu hubungan kami hanya sebatas kenalan, jadi saling meledek bagaikan adik kakak.

Ejekan itu ada benarnya. Paris membuat kami minder. Umumnya warga kota Paris membalut tubuh mereka yang anggun dengan mantel hitam atau berwarna gelap. Sementara kami berdua ngejreng abis, tapi mau bagaimana, sudah telanjur beli, masak mau ganti mantel hanya karena bikin silau mata orang. Lagipula, pikir kami, namanya juga turis jadi sah-sah saja kalau agak beda dikit.

Adaptasi

Kini,  memasuki tahun kesepuluh saya menetap di Perancis, tepatnya di Montpellier, kulit Indonesia saya sudah mulai terbiasa dengan hawa dingin yang menusuk. Pada tahun-tahun pertama saya harus mengenakan baju berlapis-lapis untuk menahan hawa dingin. Di rumah saja saya sering menggigil. Untuk ke luar rumah, saya wajib pakai celana dua lapis dan baju tiga lapis, itupun tebal-tebal. Padahal, saya tinggal di Perancis selatan. Kalau suami dapat pekerjaan di Utara, sudah pasti saya kabur ke Indonesia..

Dingin juga membuat kulit kampung saya protes berat. Kulit saya jadi pecah-pecah dan bersisik, bahkan bibir saya sempat luka. Payah memang saya ini, meski kerap ke luar negeri, badan ini masih sering menolak cuaca di negeri orang.

Setidaknya saya membutuhkan waktu hampir tiga tahun untuk beradaptasi dengan hawa dingin, terutama dengan tiupan angin yang begitu menusuk membuat kuping beku dan sakit. Sebagai orang yang terbiasa hidup dengan kehangatan matahari, saya belajar mengenal berbagai krim yang cocok bagi tubuh sesuai dengan musimnya. Semua membutuhkan proses dan belajar.

Akhirnya, dingin salju yang membekukan jari tangan dan kaki bisa juga saya nikmati setiap kali kami sekeluarga berlibur musim dingin. Anak pertama kami, Adam, pun harus berproses untuk bersahabat dengan dingin. Kali pertama mengenal salju, Adam terlihat tidak senang, bahkan tak mau menyentuhnya. Dia terus rewel, mungkin kedinginan.

Baru pada usia tiga tahun Adam terlihat menikmati gumpalan salju yang kami lempar sebagai permainan. Ia juga mulai berteriak senang saat menaiki papan luncur yang membawa tubuh kecilnya meluncur dari ketinggian.

Saya dan Adam membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa ceria menggumuli salju. Si kecil Bazile tampaknya juga begitu. Saat kami membawanya berlibur di musim dingin Februari lalu ke gunung salju ia tak henti menangis.
Memasuki musim dingin menjelang akhir tahun ini butiran salju yang turun masih memesona mata saya. Butiran putih yang jatuh dan menjadi air ketika disentuh telapak tangan, bisa menjadi gumpalan besar yang memenuhi jalan, taman dan menutupi kendaraan bahkan rumah.

Di daerah bersalju, orang mengeruk salju yang menutupi jalan masuk ke rumah mereka menjadi pemandangan lumrah. Di kota saya, paling hanya bertahan beberapa jam saja, kemudian mencair dan membuat jalanan menjadi licin. Kalau sudah begini, saya wajib keluar dengan sepatu khusus yang memiliki sol keras dan bergerigi. Kalau hanya pakai sepatu biasa….weittt siap-siap saja tergelincir.

Secara kasat mata, satu butir salju tampak begitu manja: putih, bersih, dan ringan. Tapi, bila mereka jatuh deras dalam jumlah banyak butir-butir ini bisa amat menyakitkan, terlebih bila disertai angin kencang. Bulir-bulir kecil itu bisa membahayakan bila berkumpul menjadi gumpalan besar. Ia bisa merobohkan manusia.

Gumpalan salju pertama saya buat bersama kakak saya saat liburan. Kami berdua membuat orang-orangan salju bersama teman-teman, menghiasinya, dan mengabadikan dalam foto yang kini terpajang di rumah orang tua.

Pengalaman pertama meluncur di atas ski berbuah kejengkelan karena kami selalu jatuh dan jatuh. Saat itu saya berkata dalam hati, jika ada kesempatan liburan musim dingin berikutnya saya ingin sekolah ski lebih dulu.

Sekarang,  Adam dengan lihai mengayunkan tubuhnya di atas papan ski. Meluncur dari ketinggian gunung menikmati cipratan salju yang menerpa wajahnya. Saya sendiri?  Saya cukup senang  dengan papan luncur saja, lebih aman bagi kaki saya yang kecil meluncur di atas si putih salju.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com