Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sumba, Lelaki Pemakan Sirih dan Kuburan Batu...

Kompas.com - 25/02/2010, 15:34 WIB

KOMPAS.com - Bertemu pertama kali dengan para lelaki yang kemana-mana membawa parang di pinggang dengan mulut merah karena sirih tak ayal membuat saya jadi keder juga. Itu mungkin kesan pertama saya ketika berkunjung ke beberapa dusun di pedalaman Sumba Barat dan Sumba Barat Daya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka penelitian malaria selama 4 tahun di tempat ini.

Para lelaki mulai dari remaja hingga yang sudah lansia, lalu lalang dengan parang, tapi akhirnya saya tahu bahwa bagi mereka parang adalah sebuah simbol kelelakian, juga simbol penghormatan. Seorang kepala dusun yang kami kunjungi sebelumnya segera bergegas masuk rumah memakai sarung tenun khas Sumba sambil membawa parang kebanggaannya menyambut kami.

Dan yang membuat saya paling terkesan adalah kebiasaan makan sirih para pria Sumba. Jika di tempat lain maka yang lazim makan sirih adalah perempuan, maka disini makan sirih juga adalah kebiasaan laki-laki. Makan sirih mungkin sudah mirip dengan merokok. Rasanya tak lengkap jika mereka tak mengunyah sirih.

Mereka percaya bahwa selain enak, sirih juga ternyata menyehatkan bahkan bisa jadi obat. Meski saat mencobanya saya harus memaksa untuk menelan ludah karena rasa pahit sepat di mulut. Kebiasaan makan sirih pun tidak hanya dilakukan orang desa, tapi sangat umum ditemukan para pegawai di kota kabupaten semacam weetabula, ibukota sumba barat daya yang mengunyah sirih.

Hal lain yang menarik dari perjalanan saya ke dusun-dusun di pelosok Sumba itu adalah tentang kuburan. Jika di tempat lain kuburan biasanya jauh dari pemukiman maka di Sumba kuburan biasanya dibangun di halaman rumah. Kuburan dengan konstruksi seperti kotak dengan penutup dari batu. Dahulu batu-batu yang digunakan untuk membuat kuburan adalah batu-batu alam yang dipotong.

Bisa dibayangkan betapa banyak hewan yang dikorbankan untuk pembuatan kuburan saja. Namun sekarang sudah banyak yang membuat kuburan semacam itu dari semen yang dicor. Menariknya bahwa kuburan itu umumnya tetap dibangun tidak jauh dari lingkungan pemukiman rumah mereka dan dibangun untuk satu keluarga.

Saya sempat bertanya kepada seorang kepala kampung Ratenggarong yang dianggap sebagai salah satu kampung tua di Sumba Barat daya terkait dengan kuburan unik ini. Selain karena begitu yang telah diwariskan oleh adat secara turun temurun katanya lagi membangun kuburan batu apalagi yang besar dan mahal dengan pesta besar-besaran itu adalah juga sebuah kebanggaan keluarga.

Bahwa kuburan itu dibangun dihalaman rumah, itu merupakan wujud kecintaan mereka terhadap orang yang telah pergi agar tetap dekat dan selalu diingat. Selain itu di dusun yang lain saya dapat penjelasan bahwa mereka menabung kuburan di depan rumah sebagai petanda bahwa keluarga yang dikubur di sana adalah pemilik tanah tempat kuburan berada.

Unik, saya kadang-kadang membanding-bandingkan antara budaya Sumba dengan Toraja. Ada beberapa kemiripan. Orang Sumba dan orang Toraja sama-sama mayoritas Kristen namun terasa sekali bahwa pengaruh adat masih sangat kuat. Contohnya dalam soal kematian dan upacaranya. Diselenggarakan dengan meriah dengan mengorbankan begitu banyak hewan ternak seperti kerbau dan babi dan terkhusus di Sumba juga kuda. Kata seorang teman Sumba, disini seluruh persoalan harus selesai secara adat dulu baru dibawa ke Gereja. Betapa kuatnya mereka memegang adat.

Di Sumba memang banyak hal yang menakjubkan. Alam yang eksotik. Sabana dan padang ilalang. Kuda-kuda yang berlarian bebas dengan senyum bibir merah penduduknya.

Tradisi pasola, saat para kesatria beradu ketangkasan dalam perang lembing dari tongkat. Hingga tradisi “beilis”, mahar pengganti air susu ibu yang harus dibayar seorang laki-laki jika ingin menikahi para gadis sumba. Juga tradisi mengumpulkan nyale hingga eksotisme pantai dan laut di pesisir Sumba Barat dan Sumba Barat Daya yang begitu dahsyat dan masih tetap perawan. Belum lagi tenun khas Sumba dengan warna dan motif yang eksotik.

Mungkin kali lain akan dikisahkan, dan dari Sumba kami menitip cinta untuk seluruh Kompasianer di Indonesia, semoga suatu saat bisa berkunjung kesini. (Joko Hendarto)

Artikel lainnya bisa dilihat di http://wisata.kompasiana.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com