Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesona Bau-Bau, di Benteng Terluas di Dunia

Kompas.com - 08/03/2010, 15:00 WIB

KOMPAS.com - Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara sangat identik dengan keberadaan Benteng Keraton Buton yang dikenal sebagai benteng terluas di dunia. Bahkan, orang Buton pada umumnya percaya, jika Anda belum menginjakkan kaki di pulau ini jika belum berkunjung ke Benteng berusia berabad-abad itu.

Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark. Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai yang terluas di dunia. Luasnya benteng ini, bukan sekadar isapan jempol, di dalam kompleks benteng melingkupi 1 wilayah kelurahan, dengan nama kelurahan Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.

Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.

Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.

Putri itu kemudian dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio. Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambil mengucapkan sumpah jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.

Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton setelah masuknya Islam.

Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan Sakiuddin Darul Alam. Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.

Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.

Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.

Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa (almarhum) semasa hidupnya, putera Sultan Buton ke-38, meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com