Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Makasar dan Cerita Masa Lalu

Kompas.com - 13/03/2010, 15:41 WIB

KOMPAS.com — Nama Makassar begitu populer. Ada Kampung Makassar di Cape Town, Afrika Selatan, Makassar di Madagaskar, bahkan di Indonesia nama kampung Makassar begitu menggurita, pertanda hegemoni Makassar begitu besar pada masa lalu. Di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, tak terkecuali, ada sebuah pulau yang juga berlabel Makassar, namanya Pulau Makasar (bukan dengan dua 'S'). Banyak cerita tersimpan di pulau nan cantik itu.

Umur Pulau Makasar diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Ini dapat dilihat dari prasasti makam Sultan Buton VIII Mardan Ali atau Oputa Yi Gogoli yang terdapat di pulau seluas lebih kurang 10 kilometer persegi tersebut, antara tahun 1647 dan 1654. Hal itu dapat pula dikaitkan dalam sejarah Kerajaan Buton yang ditulis A Ligtvoet tahun 1887 yang menyiratkan asal-usul nama Pulau Makasar.

Disebutkan, pada tahun 1666 Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang dianggap melindungi Aru Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Aru Palakka yang adalah putra bangsawan Bone melarikan diri ke Buton pada tahun 1660. Dia diterima baik oleh Sultan Buton sehingga kemudian melahirkan ikrar kerja sama antara Buton dan Bone bahwa Buton adalah Bone Timur dan Bone adalah Buton Barat. Konon, waktu ke Buton, Aru Palakka ikut membawa putri Raja Gowa bernama Daeng Talele yang telah diperistri.

Pada akhir tahun 1666, Batavia mengirim pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, di antaranya termasuk Aru Palakka.

Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Liwuto artinya pulau.

Tawanan perang tersebut kemudian dilepas oleh Sultan Buton setelah pasukan Belanda meninggalkan Buton untuk pergi ke Ternate. Menurut Ligtvoet, pelepasan itu dilakukan setelah pimpinan pasukan Gowa membayar tebusan.

Setelah peristiwa itu, Liwuto lebih dikenal dengan sebutan Pulau Makasar. Banyak versi yang berkembang ikhwal penamaan Pulau Makasar itu. Pertama, di sanalah tempat para hulubalang dan pendamping Arung Palakka diberi tempat bermukim oleh Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis.

Versi lain menyatakan bahwa pulau seluas 104 kilometer persegi itu diberi nama serupa dengan ibu kota Sulawesi Selatan karena di sanalah para pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman. Sepasukan prajurit itu enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu Gowa, Arung Palakka. Selain itu, jika mereka gagal, maka hukuman dari raja sudah menanti.

Adapun pada versi lain ada klaim bahwa pulau yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna itu dulunya adalah tempat tawanan 5.500 pasukan Bontomarannu yang ditangkap oleh pasukan Kompeni-Arun Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa menyerang Buton pada 1666.

Dalam perkembangannya lagi, tahun 1980-an, orang lebih populer menyebutnya Puma, singkatan dari Pulau Makasar. Walau nama Liwuto tetap diabadikan sebagai nama kelurahan di bagian timur pulau tersebut (Kelurahan Liwuto). Di Kelurahan Liwuto, terdapat satu kampung bernama Bone. Entah apakah ada kaitannya dengan nama Bone di Sulsel atau tidak, yang jelas, bone dalam bahasa lokal berarti pasir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com