Dari sejarahnya, seperti tertuang dalam Kitab Negara Kertabumi karya Pangeran Wangsakerta, tahun 410 Masehi, Raja Tarumanegara memerintahkan penguasa Kerajaan Indraprahasta membangun tempat pemandian, Bengawan Kriyan. Tradisi mandi suci pun mengikuti perkembangan zaman dan bergeser menjadi pesta laut (nadran).
Kepala kerbau yang dilarung mengacu pada tradisi upacara masyarakat Hindu. Mahesa bisa diartikan Maha Esa, sedangkan laut adalah kehidupan dan ikan adalah manusianya.
Ada juga pengertian lain. Kepala kerbau bisa diartikan sebagai kebodohan sehingga harus dibuang jauh-jauh.
”Karena itu, saat replika perahu berisi kepala kerbau dilarung, kami hanya berebut kain pembungkus. Bukan sesajen. Kain pembungkus dianggap suci dan bisa memberikan berkah bagi pemilik kapal,” kata Tarjo.
Nelayan yang mendapatkan kain pembungkus akan mengikatkan kain itu di tiang kapal atau menyematkan di bagian depan kapal.
Setelah sesajen dilarung, nelayan menyiramkan air laut ke kapalnya, dengan harapan mendapat berkah. Beberapa nelayan bahkan sengaja berenang di sekitar sesajen karena yakin bisa awet muda.
Keyakinan masyarakat pesisir Cirebon diharapkan bisa memelihara tradisi nadran yang secara rutin digelar sejak abad ke-15, yaitu pada masa Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), meski kini sudah terselip nuansa komersial.