Denpasar, Kompas -
Kemarin massa memaksa masuk ke lingkungan sekolah yang dikelola Yayasan Dwijendra. Dua petugas satuan pengamanan (satpam) yang berusaha menghalangi dipukuli hingga menderita luka-luka di bagian mulut dan tangan. Salah satu di antaranya bahkan harus mendapat delapan jahitan di sekitar mulutnya. Murid-murid dan guru pun akhirnya ketakutan.
”Ini merupakan teror bagi
Aparat dari Kepolisian Sektor (Polsek) Denpasar Timur langsung terjun ke lokasi. Kasus yang terjadi di sekolah yang jaraknya hanya sekitar 500 meter dari Markas Kepolisian Daerah (Polda) Bali ini membuat geram pihak kepolisian.
”Segera tangkap itu. Negara tidak takut dengan preman. Kami tegaskan kepada Kapoltabes (Kepala Kepolisian Kota Besar) Denpasar, tangkap itu preman sesegera mungkin,” kata Kapolda Bali Irjen Hadiatmoko yang saat kejadian berlangsung masih memimpin rapat koordinasi pengamanan Lebaran 2010 di Markas Polda Bali.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Bali Komisaris Besar Gede Sugianyar, aksi kekerasan itu dilakukan oleh satu kelompok bela diri di Denpasar dengan sasaran salah satu pengajar di sekolah tersebut. Motif penyerangan masih diselidiki, tetapi polisi telah mengetahui ciri-ciri pelaku dan akan segera menangkapnya.
Aksi kekerasan ini adalah yang kedua dalam pekan ini di Bali. Dua hari sebelumnya, bentrok antarbanjar terjadi di Desa Pengastulan, Buleleng, serta melibatkan warga Banjar Kauman dan Pala. Saat itu dua rumah warga terbakar akibat lemparan bom molotov. Beberapa pihak menyayangkan kejadian itu mengingat kedua perwakilan banjar sudah dipertemukan untuk mencapai perdamaian Minggu siang lalu.
Bentrok antarbanjar itu berawal Minggu dini hari sehingga mengakibatkan sedikitnya delapan warga terluka, 29 rumah rusak, dan satu kendaraan
Dua pekan sebelumnya juga terjadi bentrokan antarwarga di Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Satu mobil rusak dan satu truk dibakar. Penyebabnya rata-rata sepele, yakni ketersinggungan antarkelompok pemuda setempat.
Salah satu pelaku wisata di Bali, Gede Sidharta Putra alias Gus De, menyatakan, aksi-aksi kekerasan itu kontraproduktif bagi kepariwisataan Bali. ”Bali sudah pernah merasakan dampak buruk dari aksi-aksi seperti itu. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara merosot dibandingkan waktu-waktu sebelumnya,” katanya.