Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terunyan dan Entitas Bali Turunan

Kompas.com - 16/10/2010, 07:46 WIB

Oleh: Benny D Koestanto

Pagi belum kehilangan jejaknya ketika perahu motor membelah Danau Batur. Kabut tipis membalut bagian-bagian atas lembah di sisi timur danau. Cahaya yang menyilaukan dari kejauhan berangsur jadi pemandangan dusun yang sunyi saat perahu merapat ke Terunyan.

"Selamat datang di Desa Terunyan,” ujar seorang laki-laki setengah baya. Ia menarik dan menambatkan perahu yang kami tumpangi, sekaligus menempatkan papan kayu sebagai pijakan kaki untuk menapak daratan.

Suasana khas desa itu langsung tercium. Khas karena apa yang tersaji di depan mata kala itu pantaslah disebut antitesis dari suasana Bali bagian selatan, seperti Denpasar, Kuta, dan Kabupaten Badung, yang sibuk, padat, dan tergesa-gesa. Sementara wilayah terpencil di Kintamani, Kabupaten Bangli, itu terlihat tenang, lapang, dan santai.

Pantulan cahaya yang kelihatan semula adalah atap-atap rumah warga Terunyan yang terbuat dari seng. Perahu-perahu motor dan jukung tertambat di depan danau. Kaum laki-laki duduk-duduk, kaum perempuan mencuci pakaian, ditemani sejumlah anak yang berenang di bagian pinggir danau. Lelaki itu mengantar menemui Perbekel (Kepala Desa) Terunyan Ketut Sutapa (42).

Orang Terunyan biasa disebut orang Bali Aga, Bali Mula, atau Bali Turunan. Bali Aga berarti orang Bali Pegunungan, Bali Mula berarti Bali Asli. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri Bali Hindu yang merupakan penduduk mayoritas di Pulau Bali. Bali Hindu adalah entitas kaum yang terkena pengaruh kebudayaan Jawa Majapahit.

Namun, warga setempat lebih suka dengan sebutan Bali Turunan karena mereka percaya leluhur mereka ”turun” dari langit ke Bumi Terunyan.

Sebuah mitos (dongeng suci) tentang asal-usul penduduk Terunyan menguatkan kepercayaan itu. Seperti dituturkan oleh Sutapa, leluhur perempuan mereka adalah seorang dewi yang turun ke desa itu. Rahim dewi ini dibuahi oleh Sang Surya hingga melahirkan anak kembar, salah satunya perempuan. ”Anak perempuan itu lalu kawin dengan seorang putra Raja Jawa (disebut Putra Dalem Solo). Raja itu datang ke Terunyan karena tertarik dengan bau harum yang dipancarkan sebatang pohon menyan yang tumbuh di desa ini. Dari dua insan itulah warga Terunyan berasal,” kata Sutapa.

Mitos itulah yang menerangkan asal-usul nama desa itu, sekaligus inti kepercayaan masyarakat Terunyan (Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, Danandjaja, 1980).

Perihal keberadaan desa itu, para arkeolog memperkirakan Terunyan sudah ada sejak abad X Masehi. Dari prasasti Trunyan AI, misalnya, terekam adanya tulisan tahun 833 Saka yang menerangkan izin pembangunan satu kuil untuk Batara Da Tonta yang tidak lain adalah Ratu Sakti Pancering Jagat. Di Pura Terunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat berupa batu raksasa setinggi sekitar 4 meter. Menurut arkeolog R Goris, batu itu adalah hasil seni patung gaya megalitik.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com