Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PARIWISATA

Keindahan Lain di Pulau Kepala Burung

Kompas.com - 27/01/2011, 07:58 WIB

Oleh: Cornelius Helmy

KOMPAS.com — Namanya mungkin tak setenar kawasan wisata Kepulauan Raja Ampat. Namun, tiga pulau terbesar di Distrik Sorong Kepulauan: Ram, Soop, dan Doom, menyimpan potensi wisata yang besar nan eksotis. Berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, ketiganya menawarkan keindahan pantai berpasir putih, gugusan karang, dan wisata sejarah yang sayang dilewatkan begitu saja. 

”Tiga gugusan pulau terbesar itu merupakan potensi wisata yang potensial, tetapi belum dipromosikan secara maksimal. Selain panorama alam dan peninggalan sejarah, banyak juga keunikan yang tak ditemukan di daerah Papua Barat lainnya,” kata Sekretaris Distrik Sorong Kepulauan Elizabeth Karambut di Sorong, Papua Barat.

Doom, pulau seluas 5 kilometer persegi ini, dikenal dengan sebutan Dum, yang dalam bahasa suku Malamooi—suku setempat—berarti pulau penuh dengan buah. Sukun adalah buah yang paling banyak ditemui hampir di setiap rumah warga. Sukun banyak diolah dan dikonsumsi sebagai makanan tambahan bagi warga setempat.

Doom memiliki peran penting dalam membidani kelahiran Sorong sebagai pusat perekonomian terbesar di Papua Barat. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Belanda membuat daerah hunian awal sebelum menjejakkan kakinya di Tanah Papua awal 1900-an. Namun, Belanda tak melupakan penataan yang baik saat membangun perkampungan di Doom.

Tata kota seperti itu hingga kini masih bisa dilihat, seperti Kantor Hoofd van Plaatselijk Bestuur atau Kantor Pamong Praja Kolonial Belanda, yang kini dihuni Taher Arfan (54). Selain itu, ada juga penjara Doom, lapangan sepak bola, rumah kesenangan (tempat pesta serdadu Belanda), dan Gereja Kristen Orange.

Belanda juga menyediakan permukiman bagi masyarakat etnis Tionghoa, tangki air bersih, dan pembangkit listrik tenaga diesel di tempat itu. ”Dulu, tenaga diesel membuat Doom lebih maju ketimbang Sorong. Saat Sorong masih gelap gulita karena belum terpasang aliran listrik, Doom justru terang benderang, hasil tenaga diesel. Hingga kini alatnya masih terpasang dan berfungsi dengan baik,” kata Taher.

Hal lain yang cukup unik di Doom, Anda bisa berkeliling pulau sekitar setengah jam dengan mengeluarkan Rp 30.000-Rp 50.000 untuk becak.

Menempuh perjalanan 15 menit dari Doom ke arah utara, menggunakan perahu panjang, pengunjung akan menemukan Pulau Soop yang memiliki bentangan pasir putih. Tidak ada kendaraan bermotor atau becak di tempat seluas 2 kilometer persegi ini. Meski demikian, tidak perlu khawatir karena cukup berjalan sekitar satu jam untuk mengelilingi pulau.

Tempat berpenduduk tak lebih dari 100 orang ini tak kalah bersejarah. Serdadu Jepang pernah menempatkan pasukannya di sini guna melakukan penyerangan ke Pulau Papua. Buktinya, bungker pelindungan udara yang menghadap ke Bandar Udara Jeffman, Sorong, di sekitar daerah Tanjung Lampu Jepang.

Jika ingin lebih puas melihat hamparan pasir putih Papua Barat, perjalanan bisa dilanjutkan ke arah barat, sekitar 30 menit, yakni ke Pulau Raam. Pulau yang dikenal dengan sebutan Pulau Buaya—bentuknya seperti buaya bila dilihat dari udara—ini memiliki bentangan pasir putih lebih besar ketimbang Pulau Soop. Hamparan pasirnya menambah cantik keberadaan relief batu dan terumbu karang di bagian selatan pulau. Penyelam bisa menyempurnakan perjalanannya dengan menikmati keindahan bawah laut Raam.

Mudah dijangkau

Tak sulit bila hendak berkunjung ke tiga pulau itu. Dari Bandar Udara Eduard Osok, Sorong, wisatawan bisa menggunakan jasa ojek motor atau taksi (angkutan kota) menuju Pelabuhan Sorong. Bila memilih ojek, hanya ditarik Rp 15.000 per orang, sedangkan taksi tarifnya Rp 5.000 per orang.

Dari pelabuhan, wisatawan melanjutkan perjalanan menggunakan perahu panjang ke Pulau Doom. Tarifnya lebih kurang Rp 20.000 sekali jalan selama 15 menit. Tarif yang sama diberlakukan pemilik perahu bila ingin melanjutkan perjalanan ke Raam dan Soop.

Sayangnya, wisatawan tak bisa menginap di hotel karena di ketiga pulau itu tak ada hotel. Tetapi, tak perlu khawatir. Masyarakat umumnya mau menampung dengan tarif Rp 100.000 per orang per malam. ”Wisatawan asing mulai datang sejak tahun 1970-an untuk bersantai dan melihat keindahan terumbu karang di pinggir pantai,” kata Rudi (46), pengemudi perahu panjang asal Maluku.

Tak hanya soal penginapan, peninggalan sejarah itu kini juga terancam rusak. Di Dum, misalnya, rumah kesenangan yang kini ditempati Telly Awom (50) tak terawat.

Telly mengatakan, di tempat pesta para serdadu Balanda itu sudah tak ada lagi meja bar. Atap asbesnya, yang dulu hanya digunakan kalangan kaya, bolong di sana-sini. Tinggal fondasi kayu besi yang masih terlihat kokoh menopang bangunan bercat biru yang sudah kusam tersebut.

Pemandangan lepas ke arah Samudra Pasifik pun telah terhalang permukiman warga, yang muncul sejak tahun 1980. Bahkan, setelah sempat kosong selama enam tahun, banyak sarana penunjang hilang entah ke mana. Meja putar di pinggir pantai hingga tempat mandi pinggir laut tak meninggalkan jejak.

Keprihatinan serupa muncul saat berkunjung ke Pulau Raam. Lurah Raam Djamin Arfak mengatakan, titik terpenting potensi wisata terancam abrasi. Penyebabnya, empasan ombak keras, angin laut utara, dan tsunami Papua Barat. Dikhawatirkan, keindahan terumbu karang dan relief batunya akan hilang bila tak dilakukan rekayasa teknis.

Soop pun tak kalah merana. Marian Kerayan (45), warga, masih ingat betul, terakhir kali dia melihat turis asing datang ke Pulau Soop sekitar 12 tahun yang lalu. Saat itu, Sebastian, turis asal Inggris, datang menikmati keindahan pasir putih Soop. ”Sebastian menjadi yang pertama dan terakhir. Mungkin karena kurang promosi,” kata Marian.

Menurut Djamin, salah satu jalan mengembalikan minat wisatawan untuk berkunjung ke tiga pulau di Sorong itu adalah pembangunan infrastruktur, antara lain, moda transportasi, penginapan, dan tanggul penahan abrasi. ”Bila bisa terjaga, bukan tidak mungkin akan semakin banyak wisatawan datang. Sektor wisata bisa meningkatkan perekonomian warga. Saat ini masyarakat masih menggantungkan hidup sebagai nelayan kecil dan budidaya ikan air tawar,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com