Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jatiluwih, Karisma Desa Wisata

Kompas.com - 06/02/2011, 08:28 WIB

Selama ini mereka hidup berdampingan secara damai, malah ibunda Jamirin, yaitu Siti Suwani, adalah mualaf yang berasal dari Desa Jatiluwih. Tradisi saling kunjung saat Idul Fitri dan Galungan, bahkan tradisi ngejot (mengantar makanan) ketika tiap-tiap umat merayakan hari besar keagamaan, masih berjalan hingga saat ini.

Hubungan harmonis itu berjalan turun-temurun, sebagaimana strategi menanam padi varietas lokal yang bertali-temali dengan nilai sosial dan budaya serta kearifan lokal. Salah satunya, pantang mendirikan bangunan permanen di persawahan. Sebab, dengan situasi alam terbuka di tengah sawah, bangunan sangat rawan disambar petir. Karena itu, petani hanya membangun kubu (gubuk) yang berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan alat pertanian atau kandang ternak. Kubu dan ternak itu berperan ganda untuk menghasilkan bahan baku pupuk dan pemrosesan pupuk organik dari kotoran sapi atau kerbau.

Dengan pupuk organik itu, Suarya yang memiliki 0,30 are (30 meter persegi) sawah bisa memperoleh 2 ton gabah kering panen. Hasil itu sangat tinggi dibandingkan lahan yang ditaburi pupuk kimia dengan produksi 16 kuintal.

Tradisi agraris itu diduga berkaitan dengan mitos yang menyertai Pura Batu Kau dan pura besar lain, seperti Besakih, Lempuyang, Andakasa, dan Pura Batur di Bali. Konon, suatu masa terjadi kemarau panjang di seputar Pura Batu Kau. Rakyat pun masuk hutan mencari makanan. Di antara mereka, dalam suasana antara sadar dan tidak sadar, ditunjukkan ”pemandangan gaib”: sawah dengan tanaman padi menguning dan sebuah rumah berpenghuni seorang kakek.

Mereka diminta singgah di rumah itu, lalu sang kakek memberi mereka bibit padi gaga. Ketika benih padi diterima, sang kakek dan rumah itu menghilang seketika. Masyarakat pun melaksanakan pesan sang kakek untuk menanam bibit padi itu.

”Pesan” itu lalu dimanifestasikan dalam pola tanam para petani. Di Desa Mengesti, misalnya, petani wajib menanam varietas lokal (padi beras merah dan putih) pada musim hujan (kertamasa). Sedangkan musim kemarau (gadon/gadu) pada Juli-Agustus, petani diizinkan menanam varietas unggul IR 64 dan palawija. Pola tanam itu diperkuat awik-awik (peraturan) lewat subak masing-masing.

Konon, pernah terjadi pelanggaran tradisi bercocok tanam itu sehingga berakibat semua tanaman padi gagal panen karena diserang hama tikus dan wereng.

Kalaupun tak ada gagal panen, petani juga dihadang sanksi: tak mendapat jatah air untuk sawahnya atau dibebani upacara adat di pura dengan biaya Rp 3 juta. Jatiluwih sudah mengaturnya....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com