Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidung Kesuburan Agrowisata di Mengesti

Kompas.com - 07/02/2011, 09:13 WIB

Oleh: Khaerul Anwar

HUJAN gerimis menyiram Dusun Wangaya Betan, Desa Mengesti, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, sekitar 65 kilometer utara Denpasar, Bali, Rabu (2/2/2011) pagi. Seorang laki-laki wisatawan asal Jepang yang menunggang kuda melintas di pematang sawah, sambil terus mengamati seorang petani yang tengah membajak sawah di dekatnya.

Tidak jauh dari sawah itu, di atas dataran tinggi, dua wisatawan asal Taiwan asyik duduk lesehan di pendopo mini milik Made Sudiksa (48). Belakangan, tiga wisatawan Jepang tiba dan langsung nimbrung di lesehan itu.

Mereka duduk lesehan sambil menyaksikan panorama hamparan sawah berundak di sekitar tempat itu. Tuan rumah lalu menyuguhkan makanan, seperti umbi talas dan ketela ungu (ayamurasaki) yang dipotong kecil-kecil, buah salak, nanas, avokad, dan buah naga.

Para tamu tampak menikmati suguhan dan suasana itu. Apalagi ada minuman hangat berupa air beras merah yang diproses sedemikian rupa sehingga mirip air teh, ditambah suara instrumen musik bambu (mirip angklung) yang ditabuh dua anak usia sekolah, menjadikan suasana tenang, damai, seakan dunia menjadi milik sendiri.

”Silakan dicicipi, buah dan minuman ini bebas residu kimia karena hasil tanaman pertanian organik,” kata Sudiksa kepada para tamunya.

Sudiksa tampaknya menjual panorama alam dusun itu menjadi obyek wisata agrowisata sejak tiga tahun belakangan. Alasannya, wisatawan ke Bali bukan hanya melihat budaya Bali, melainkan juga menyaksikan suasana natural.

”Di sini ada obyek wisata pemandian air panas,” ucap Sudiksa. Ia lalu menyebutkan alternatif bagi para pelancong, seperti pemandian air panas yang berlokasi di Dusun Belulang, Desa Mengesti, Desa Penatahan, dan Desa Angsri.

Memadukan konsep konservasi alam dan budaya untuk dijual kepada wisatawan, itulah yang ditawarkan Sudiksa. Para tamu diajak trekking menyusuri pematang sawah sepanjang satu kilometer, dan berakhir di pendopo tersebut. Dalam perjalanan, Sudiksa bertindak sebagai guide, menerangkan berbagai hal, seperti saluran air irigasi yang dikelola dengan sistem Subak, pola tanam yang diterapkan selama setahun musim tanam.

Sebanyak 26 hektar (ha) sawah dari 73 ha wilayah Subak Wangaya Betan ditanami beras merah, hitam, dan putih, yang wajib ditanam setiap awal musim tanam (Kerta masa), pada bulan Januari-Februari. Sementara padi varietas unggul dan tanaman palawija ditanam pada musim gadon (gadu), Juli-Agustus.

Sebagai pupuk tanaman, petani menggunakan pupuk organik berbahan kotoran ayam dan sapi. Tampaknya penggunaan pestisida menjadi barang haram. Petani menggantinya dengan urine sapi, setelah melalui proses.

Setelah itu, wisatawan singgah di kebun milik Sudiksa seluas 1,2 ha. Di kebun ini ditanami cokelat, avokad, kopi, salak, manggis, durian, cabai, serai, sirih, kunyit, dan jahe. Hasil pertanian itu lalu disuguhkan kepada para tamu, melalui proses sederhana.

Misalnya air padi beras merah itu disangrai dulu, lalu direndam dalam air sejenak, disaring kemudian diseduh dengan air panas. Tergantung selera dan suasana saat itu, tinggal pilih aroma minuman yang disukai. Biasanya pada siang hari, air beras merah itu dicampur daun serai, dan apabila cuaca dingin, minuman air beras merah itu beraroma jahe.

Sejak lama

Sejatinya pertanian berkelanjutan berbasis lingkungan dan budaya. Konsep bertani seperti itu diterapkan sejak berabad silam, melalui sistem irigasi subak. Bahkan, pelestarian lingkungan disimbolkan lewat kidung-kidung yang akrab dilontarkan petani, saat istirahat dari pekerjaan di sawah.

Kidung itu berbunyi demikian: Ado kidung kedis kurkuak, balang kajo ne menyuling, pici-pici ne nerompong, kunang-kunang kakul ne bekempul, kekawo ne tameang, jangkrik ngibing, kokokan tandang-tandang (ada lagu burung kurkuak, belalang memainkan suling, siput berjejer bagai alat musik terompong/gender, kunang-kunang dan keong menabuh gong, laba-laba membikin jaring, jangkrik menari-nari, burung kuntul berlenggang).

Itu sebuah kidung kesuburan atau kearifan lokal petani. Burung kurkuak dikiaskan sebagai pemakan sejenis belalang yang merusak tanaman, suara-suara jangkrik dan kunang-kunang yang mengeluarkan cahaya pada malam hari, berperan mengusir tikus, sedangkan keong mengeluarkan hormon yang berguna bagi proses tumbuh-kembang tanaman dan kesehatan tanah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com