Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Juru Kunci" Budaya Toraja

Kompas.com - 21/02/2011, 03:51 WIB

 ASWIN RIZAL HARAHAP/NASRULLAH NARA

Stanislaus Sandarupa (54) menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti budaya Toraja di Sulawesi Selatan. Ia masuk keluar pedalaman Toraja untuk menyelami makna yang terkandung dalam beberapa upacara adat. Bahasa ritual diterjemahkannya demi kelangsungan budaya Toraja.

Stanislaus lebih dari sekadar peneliti. Selama 14 tahun terakhir, dia mengelola usaha perjalanan wisata Makassar-Toraja (325 km). Torindo Tours yang dikelolanya khusus melayani kelompok akademisi atau wisatawan peminat budaya suku yang berdiam di dataran tinggi Sulsel itu.

Dana mendirikan Torindo diperolehnya dari menerjemahkan film dokumenter tentang beberapa ritual adat di Toraja buatan TV5 Perancis (1996). Rektorat Universitas Hasanuddin kala itu merekomendasikan Stanis—panggilannya—membantu TV5 menerjemahkan bahasa Toraja ke bahasa Inggris.

Sarjana linguistik Inggris ini menerjemahkan sekitar 20 film selama sebulan dengan upah 200 dollar AS per hari. Selain membeli sebuah minibus, Stanis menyulap ruangan seluas 9 meter persegi di kediamannya menjadi kantor sederhana. Sebagian lagi digunakannya untuk membangun Rumah Makan Arumpala di jalan poros Makassar-Toraja.

Saat duduk di bangku kuliah, dia memang terbiasa menerjemahkan ucapan Toma’kayo, pemimpin upacara kematian di Toraja, yang direkamnya di sejumlah ritual Rambu Solo’ (ritual kematian). Keinginan Stanis mengenal lebih dalam budaya Toraja semakin besar berkat dorongan Prof Dr Salombe sebagai pembimbing skripsi.

Ia menganalisis teks yang diucapkan Toma’kayo untuk mengungkap kepercayaan orang Toraja pada hidup sesudah mati dalam skripsinya. Setelah meraih gelar sarjana pada tahun 1987, Stanis menyusun buklet tentang gemerlap upacara adat dan sensasi adu kerbau sebagai panduan wisatawan. Buku pegangan ini turut menggairahkan kunjungan wisatawan ke Toraja yang saat itu sempat mencapai 375.000 orang setahun.

Niat Stanis untuk melanjutkan studi pada jenjang magister sempat terkendala karena tidak adanya jurusan linguistik antropologi di Indonesia. Namun, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin ini sukses meraih ambisinya setelah menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia Timur yang mendapatkan beasiswa Fulbright dari Pemerintah Amerika Serikat.

Studi tentang budaya Toraja melalui kajian linguistik antropologi dienyamnya di Departemen Linguistik University of Chicago. ”Bahasa dalam upacara adat di Toraja ternyata tidak bisa dikaji hanya dengan linguistik murni, melainkan linguistik antropologi untuk menghasilkan makna sesungguhnya,” ujarnya.

Gelar magister akhirnya ia sandang pada tahun 1989. Selama empat tahun berikutnya, ia mengisi hari-harinya dengan mengajar dan menulis. Sejumlah artikel tentang Toraja tulisan Stanis termuat di media Ibu Kota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com