Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

New Delhi, Beda dengan di Film...

Kompas.com - 10/03/2011, 12:44 WIB

KOMPAS.com — Welcome to India, seorang pramugari cantik berhidung bangir melambaikan tangannya kepada para awak pesawat yang akan turun. Terasa membara semangat kami setelah menapakkan kaki di Bandara Internasional Indira Ghandi, New Delhi ini. Kami bergegas menuju bagian imigrasi untuk melewati prosedur umum, serangkaian pemeriksaan data paspor dan visa, nggak ribet seperti negara lain pada umumnya, kami langsung mendapatkan cap imigrasi tanpa interogasi. Sedikit  shock, setelah pemandangan wajah-wajah yang khas India itu mulai mengerumuni kami, seperti tanah asing yang tak pernah kami kenal, padahal wajah-wajah khas berhidung mancung tersebut sudah akrab dimata kami sejak kami kecil dulu, waktu teater perfilman India tengah merambah dunia pertelevisian internasional khususnya Asia.

Hal pertama yang kami lakukan setiap kali tiba di bandara apalagi kalau bukan ke toilet. Apalagi kami tiba tepat menjelang subuh, saatnya membersihkan sisa-sisa makanan selama perjalanan kemarin agar tidak menimbulkan “polusi udara” di pagi pertama kami di Ibu Kota negara India ini. Sayangnya tak sehebat Singapura dan Jakarta, fasilitas toilet di bandara terbesar di India nampak jauh dari kesan nyaman, bau-bau aneh langsung mampir di hidung kami, tak terhirup lagi pewangi ruangan yang biasanya ada untuk menetralkan udara sepanjang toilet, bahkan tisu-tisu nampak tak di tempatnya, seorang penjaga toilet ramah menyapa kami, menanyakan bahkan mengira kami turis Jepang kaya. Tilik demi tilik nampak gelagat aneh menuju obrolan soal materi alias tips, masih dengan senyum getir kami berlalu sambil geleng-geleng kepala meninggalkan penjaga toilet itu.

Setelah mengambil bacpack di bagage claim, kami mulai menyusur pada lobi bandara, menurut rencana, hari pertama kami akan menuju sebuah flat di bilangan Vikash Puri milik seorang teman, hasil dari perkenalan kami lewat sebuah situs yang mengangkat nama sebuah jaringan komunitas antar traveller di seluruh dunia, Couchsurfing. Kami mengenalnya sejak dua tahun belakangan, namun baru mulai aktif sejak beberapa waktu sebelum keberangkatan kami menuju India.

Jaringan silaturahmi di dunia perjalanan ini ternyata sudah sangat akrab di telinga para pelancong dunia, apalagi yang berstatus backpacker alias budget traveller, sangat berguna untuk meminimalisasikan biaya perjalanan khususnya dalam segi akomodasi, karena hanya dengan meng-apply permintaan pada anggota yang memungkinkan di negara yang dituju, kita bisa mendapatkan akomodasi alias tempat tinggal gratis. Sudah barang tentu keuntungan lainnya kita dapat mencerna budaya kehidupan lokal melalui wacana kehidupan sehari-hari mereka, mendapat informasi keadaan wilayah sekitar yang setidaknya walau tidak lengkap tetapi cenderung akurat.

Seperti yang kami harapkan, pagi ini kami menghubungi Shiva kembali, dengan SIM card berkode wilayah New Delhi yang baru saja kami beli di gerai phone card di pintu masuk lobi. Uang 600 rupees plus voucher pulsa 100 rupees, harga yang fantastis untuk sebuah SIM Card lokal, karena setelah ditelusuri harga SIM card lokal phone plus voucher cuma 100 rupees, alias SIM card phonenya gratis! Dongkol rasanya hati, tapi nggak mungkin menuntut balik, yang ada kami misuh-misuh sepanjang perjalanan menuju keluar bandara.

Berbekal alamat yang diberikan Shiva kami bergegas ke prepaid taksi dan mendapatkan harga sebesar 350 rupees untuk sampai pada alamat yang dimaksud. Kami terperanjat ketika melihat taksi yang dimaksud berhenti di depan kami. Bayangan taksi setaraf Blue Bird pun jauh dari jangkauan. Taksinya lebih mirip oplet kecil berwarna kuning hitam dengan ACE alias angin cepoi-cepoi.

Mau apalagi, pikir kami mungkin beginilah tingkat keeksklusifan negara India, tak lama sopir berpakaian ala kadar dengan sendal jepit berbeda warna tersebut segera mengemudikan taksinya. Ancer-ancer masih dapat melesat, taksi jenis ini malah memboyong sekumpulan getaran dan gemuruh aneh dari dalam mesinnya, berkali-kali mesin mati tanpa sebab, yang akhirnya membuat perjalanan serasa menaiki siput, alias lama benerrrr... Kami berusaha senang apa pun keadaannya, mencoba mempelajari titik demi titik kehidupan sepanjang jalan yang kami lalui, beberapa gedung-gedung tinggi dengan pusat-pusat agrobisnis nampak sedang dibangun disekitar areal bandara, beberapa flyover yang terhubung ke jalur bandara pun beberapa sudah diaktifkan menjadi jalan utama.

Sambil berteriak kecil, "India..India!" kami mengucap syukur pada Tuhan, India pernah jadi satu list dalam mimpi kami dan sekarang menjadi list salah satu negara yang pernah kami kunjungi. Seakan tak ingin merusak suasana kami tetap tenang ketika sopir mulai gelisah mencari alamat yang dimaksud, komunikasi alot antara kami yang terjadi sejak taksi berjalan membuat kami akhirnya mulai naik darah, kami maklum jika ia tak bisa bahasa Inggris, tapi tak seharusnya ia tidak tahu jalan.

Muter-muter, sambil berkali-kali bertanya pada orang lokal, akhirnya sopir itu lincah membawa kami pada alamat yang dimaksud. Seorang pemuda masih dengan pakaian kusut nampak merem-melek membukakan pintu saat kami berkali-kali memencet bel. Flat ini mirip dengan rumah susun di bilangan Penjaringan, Pluit, Jakarta Utara, dengan 2 kamar tidur, satu kamar mandi, dan ruang tamu mini, nampak agak kumuh dan kurang terawat, tapi mungkin inilah yang dimaksud tingkat kehidupan di India. Di ruang tamu telah duduk 2 orang gadis yang berasal dari Republik Chech dan 2 orang wanita setengah baya asal Amerika. Setelah memperkenalkan diri dan ngobrol panjang lebar, Kumar mempersilahkan kami beristirahat di kamar.

Berbaring santai akhirnya sambil menghirup atmosfir baru dikota pertama kami di India. Kami mencoba memejamkan mata tetapi tak kunjung bisa, nampaknya semangat kami terlalu menggebu-gebu untuk segera melihat bagian penting dari kota ini. Suara dering telepon dari Shiva membawa kami pada janji makan siang di bilangan Connught Place, langsung saja kami buka kitab traveller paling shahih, Lonely Planet, mencari info akurat untuk bisa menjangkaunya dari tempat kami berpijak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com