Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan-jalan di Old Delhi

Kompas.com - 08/04/2011, 16:27 WIB

KOMPAS.com - Ruang tamu nampak sudah penuh orang pagi ini, beberapa wajah baru anggota couchsurfing yang datang nampak asyik ngobrol dengan secangkir kopi panas yang disuguhkan John, kami kebagian the manis hangat ternyata, biar gak bosen kata John. Selera humor pemuda yang satu ini memang tinggi, ramah dan menggelitik, meski tata bahasa Inggrisnya masih patah-patah. Ada Lisa dengan pacarnya yang baru saja datang dan rencana menginap di flat ini beberapa hari, ada juga Ruth yang datang sejak semalam.

Jaringan silaturahmi ini memang membawa berbagai pengalaman terutama untuk memperluas jaringan pertemanan, baru saja 2 hari disini, kami sudah mendapat beberapa travelmate yang asyik dan penuh semangat untuk travelling, pengalaman mereka yang segudang di berbagai negara yang pernah mereka kunjungi nampak asik didengar, membuat kami menjadi gatal untuk berjalan. Sasaran kami hari ini berpindah ke Old Delhi, ibu kota lama Delhi, dikatakan di sekitaran Old Delhi terdapat berbagai situs peninggalan Raja Mughal di masa silam.

Masih menggunakan Metro train station, kami bergegas menuju depan gang, mencari becak, hari ini kami dibawa ke stasiun metro Tilak Nagar, satu stasiun setelah Janak Puri, kami singgah di Rajiv Chowk untuk mengganti line menuju areal Chadni Chowk. Pemandangan jauh berbeda nampak dimulai sepanjang jalan Old Delhi, kumuh dan terbilang memang areal kota tua, aktivitas disini ternyata baru hidup setelah jam 10, pantas saja, jam di tangan kami sudah menunjukkan pukul 9 pagi, tetapi sepanjang yang kami lihat, mereka baru saja bergegas mandi.

Agak miris melihat para pengemis tua yang tidur di tepi jalan, anak-anak masih dalam keredong sari ibunya di tepi teras pertokoan, bahkan seorang bapak tua nampak terbaring tak berdaya di tepian jalan, di mulutnya keluar busa dan nampak tak bernyawa, ah dan yang lebih parah tak ada satu pun yang memperdulikannya, anjing-anjing nampak kelaparan bahkan ada yang sudah tergeletak tak bernapas. Sangat miris dan tragis, inilah potret kehidupan kota tua Delhi, tak jauh dari tempat kami berpijak, nampak sudah berjejer para pengemis di trotoar sepanjang jalan, yang tadinya kami kira adalah para pekerja bangunan sekitar.

Kami terus menyusur jalan Old Delhi menuju The Red Fort, salah satu peninggalan termahsyur Raja Shah Jahan di tahun 1638. Tapi sayang, kami terlalu pagi sampai disana, karena bangunan yang disebut juga Lal Qila ini dibuka untuk umum dari jam 9.30 hingga jam 5 sore. Akhirnya kami mengubah rute menuju Masjid Jama, menyusur pada jalan dan lorong-lorong kecil sepanjang Old Delhi, Chadni Chowk, kami sempat mampir ke sebuah masjid bernama Fatepuri Sikri, sebelum lorong pasar kumuh yang menghubungkan jalan pintas ke salah satu pintu gerbang Masjid Jama.

Masjid terbesar di India

Hari sudah beranjak pukul 10.00, tapi aktivitas di sepanjang lorong bazaar ini nampak masih lengang, ternyata kami lupa, hari ini bertepatan dengan hari Jumat, kebiasaan warga Muslim untuk meliburkan diri dari aktivitas perdagangan. Hingga sampai di salah satu pintu Masjid Jama, aktivitas sepanjang pertokoan tak meningkat, hanya beberapa saja yang buka.

Letak Masjid Jama yang meninggi diatas berpuluh anak tangga, membuat kami harus merayap naik, diatas, tepatnya di pintu gerbang, kami disambut penjaga yang memberikan kami pakaian ekstra untuk menutup aurat, ini berlaku tidak hanya untuk wanita, pengunjung laki-laki yang hanya menggunakan celana sedengkul pun harus memakai sarung untuk dapat masuk ke masjid ini. Tak ada biaya masuk, karena ini bukan tempat wisata, tapi bagi para pengunjung yang ingin mengabadikan gambar situs sejarah yang satu ini dikenakan biaya administrasi sebesar 200 rupees.

Kami mulai menjelajah isi masjid yang terkenal sebagai masjid terbesar dan terindah se-India ini. Rumah ibadah yang dibangun Shah Jehan di tahun 1656 ini memang nampak luas, tercatat masjid ini mampu menampung 20 ribu orang. Beberapa minaret cantik dan kubah-kubah mini mengandung gaya arsitektur Persia Islami. Dua minaret digunakan untuk para muadzin mengumandangkan adzan setiap kali waktu sholat tiba. Satu diantaranya dapat disusur hingga puncaknya, kali ini kami bergegas membayar 100 rupees untuk dapat masuk minaret itu, penasaran, katanya dari menara itu kita bisa melihat pemandangan seluruh kota Old Delhi terutama seluruh bagian dari The Red Fort. Benar saja, lorong gelap dengan tangga sempit akhirnya membawa kami pada puncak menara, seperti melirik Jakarta dari Monas, pemandangan asri kota sekitar nampak masih terbalut kabut putih, The Red Fort sekilas jadi mirip Tembok Cina.

Hari menjelang jumatan tiba, masyarakat muslim berbondong-bondong memasuki masjid, di sepanjang tepian masjid dibuat seperti lorong beratap, konon digunakan untuk para wanita, jika ada acara keagamaan atau sekadar ingin sholat. Berbeda dengan masjid di Indonesia yang kesemuanya beratap, di Masjid Jama, hanya ruangan pokoknya saja yang beratap, sisanya seluas lapangan bola merupakan atap terbuka, dengan alas sajadah seadanya, bila hari Jumat tiba, sajadah ala kadarnya itu diganti dengan karpet yang lebih terlihat bersih.

Karena tidak ingin mengganggu kegiatan mereka, kami segera mengakhiri kunjungan kami di Masjid Jama, lagi pula orang yang datang juga makin padat saja. Perut kami mulai keroncongan rasanya, bergegas saja kami menuju restauran terdekat, niat kami mau bertandang ke Karims sekali lagi, tapi sayang di hari Jumat, restoran ini juga tutup, akhirnya kami kembali ke restoran Jalebiwala, restoran yang sama saat kami makan malam dengan Shiva beberapa hari lalu.

Adzan mulai terdengar, orang-orang makin berdesakan untuk segera sampai di masjid, kami terus menyusur pada jalan menuju Mina Bazaar, pemandangan nampak riuh sekali dengan pedagang-pedagang, dari mulai pakaian hingga makanan. Hati-hati buat kaum hawa ketika melewati sekitaran daerah ini, dari informasi dan pengalaman teman yang kami dengar, sering terjadi kejadian tidak menyenangkan disini, terutama oleh para pria iseng yang doyan menjamah, colek-colek wanita yang lewat, apalagi wanita dengan pakaian tidak menutup aurat.

Benteng Merah

Mina bazaar memang nampak agak kumuh dari yang kami duga, banyak kolam dengan genangan air yang menghijau akibat lumut yang tumbuh karena masa. Padahal menurut sejarah dulunya bazaar ini merupakan pertokoan paling bergengsi di zamannya. Meninggalkan kemacetan penuh orang tersebut, kami mulai berjalan menuju halaman depan The Red Fort, tidak cukup jauh, tapi panas nya membuat serasa jalan 10 km. Kami segera membeli tiket masuk seharga 250 rupees dan menitipkan ransel kami di penitipan barang.

Berbekal sebotol air dan kamera kesayangan kami, kami memulai pencarian kami tentang situs-situs budaya dan sejarah yang tertambat disekitar benteng besar ini. Nama lainnya Lal Qila, luasnya sekiar 2,4 hektar hampir semua komposisi bangunannya terbuat dari bata merah. Pemiliknya yang tersohor, Raja Shah Jahan dari Emperor Mughal.

Benteng kokoh  yang di gaungi oleh Ustad Hamid dan Ustad Ahmad, dua arsitek muda handal kesayangan raja Mughal ini didirikan pada abad 17 dengan meletakkan 2 pintu gerbang di sebelah Barat dan Selatan, Lahore Gate dan Delhi Gate. Tampak di sebelah Barat terdapat Lahore Gate yang merupakan Pintu Utama akses menuju istana dan sekarang menjadi satu-satunya entrance untuk para wisatawan lokal maupun mancanegara.

Pada bagian Lahore Gate terdapat Naubat Khana atau ruangan bermusik beserta galerinya,dan ruangan ini memiliki 4 lantai, keberadaan luas ruangan ini berkaitan erat dengan hobi dan minat sang raja dibidang seni musik. Tepat di depan Lahore Gate juga terdapat akses menuju Mina Bazaar atau dikenal juga dengan nama Chatta Chowk, dulu bazaar ini merupakan sentra penjualan paling besar dan mewah dengan kebersihannya yang sangat terjaga, namun seiring perkembangan zaman dengan kebiasaan masyarakatnya yang tidak lagi menjunjung tinggi kebersihan, maka Mina Bazaar telah menjadi pasar yang penuh sesak dan kumuh.

Setelah pintu masuk terdapat sebuah pintu gerbang lagi sebagai simbol selamat datang bagi tamu-tamu Raja karena bagian pintu gerbang utama digunakan untuk pusat penjagaan. Pada lorong menuju halaman depan istana ini sekarang digunakan oleh para pedagang cinderamata yang memiliki lisensi khusus dari pihak manajemen setempat. Yang unik dari toko-toko kecil ini adalah setiap toko menjual hasil kerajinan dari masing masing daerah wisata sesuai dengan nama tokonya. Ini berguna bagi Anda yang tidak sempat sampai ke kota wisata lainnya dapat membeli souvenirnya di tempat ini sebagai kenang-kenangan.

Terdapat banyak bangunan-bangunan penting dengan setiap gaya dan manfaat yang berbeda pada setiap ruangan yang masih berlokasi di dalam komplek Benteng Merah ini, antara lain Diwani-I-Am yang merupakan Bangsal Umum, ini ruangan dimana Raja menemui tamu-tamunya dari kalangan masyarakat umum. Ruangan yang berbentuk segi empat melebar ini bernuansa "Pietradura" yaitu termbok-tembok yang berkanopi ukiran-ukiran seperti juga yang terdapat di Taj Mahal.

Tepat di depan Diwani-I-Am terdapat Diwani Khas atau Bangsal Pribadi, yang merupakan tempat Raja duduk di Singgasana Merak dalam menghadiri pertemuan pribadinya, atau sekadar menerima laporan-laporan dan saran serta kritik dari sang perdana menterinya. Ornamen ruangan ini juga tak jauh beda dengan bangsal umum, sepertinya menggambarkan keindahan Pietradura di setiap sisinya.

Bangunan khusus lainnya adalah Rang Mahal atau disebut juga Istana warna, bangunan khas yang terdapat di belakang Diwani-I-Am ini dikhususkan untuk tempat tinggal para istri-istri dan selir-selir raja, tentunya dengan banyak ruangan yang bersebelahan, menariknya dalam setiap ruangan di Rang Mahal ini banyak dihiasi lukisan-lukisan indah dan segala bentuk ornamen-ornamen bernuansa keemasan, juga mozaik-mozaik kaca yang memiliki background air mancur berbentuk teratai. Semua keindahan itu merupakan bentuk apresiasi sang raja untuk semua istri dan selir yang di cintainya.

Sang Raja juga mempunyai istana pribadi tersendiri yang terletak disebelah utara Rang Mahal, istana pribadi ini disebut juga Khas Mahal. Di ruangan ini sang raja melakukan aktivitas pribadinya. Hanya beberapa yang bisa diizinkan masuk di ruangan ini.

Yang unik lagi di bagian belakang bangunan ini terdapat Hammam, tempat ini adalah tempat mandi yang dikhususkan untuk anggota kerajaan, dari mulai prajurit-prajuritnya sampai pejabat kerajaan. Lain dengan bangunan pribadi raja yang satu ini, yang merupakan ruang kerja khusus raja atau disebut juga Shahi Burj, bangunan ini berbentuk segi delapan dan letaknya tak jauh dari Diwan-I-Am, tapi ruangan ini tertutup untuk umum.

Tepat di depan Istana Rang Mahal terdapat Masjid Moti atau dalam bahasa indonesianya disebut juga Masjid Mutiara. Masjid indah ini di bangun oleh Raja Aurangzeb sang penerus kerajaan Shah Jahan dan di dedikasikan untuk dirinya sendiri.

Sejarah juga mencatat bahwa The Red Fort ini punya peran penting dalam sejarah India, di Benteng Merah inilah pemerintah kolonial Inggris menurunkan Tahta Bahadur Shah Jafar, sang Raja Mughal terakhir, ini sekaligus mengakhiri kejayaan dinasti Mughal yang telah berkuasa selama tiga abad lamanya. Di Lahore Gate yang merupakan pintu utama tempat dimana Jawaharlal Nehru memproklamirkan kemerdekaan India pada tahun 1945 untuk pertama kalinya. Dan pada tanggal 15 Agustus tahun-tahun selanjutnya, di tempat ini pulalah sang Kepala Negara membacakan pidato kenegaraannya. Selain menelusuri megahnya The Red Fort, kita bisa mengunjungi museum-museum benda bersejarah Delhi yang terdapat di dalam Monumen Merah ini.

Bahai Temple

Panas membuat kami akhirnya menyerah dan bergegas meninggalkan benteng merah itu, mengingat kami telah punya janji dengan teman kami sesama satu flat untuk bersama mengunjungi Bahai Temple. Kami segera menuju meeting point kami di Central Sekretariat masih dengan Metro train. Tepat waktu kami datang, tak lama Lisa dan Berth juga datang, bergegas kami menawar harga aoutoricksaw alias bajaj menuju tempat peribadatan unik tersebut.

Perlu tawar menawar keras untuk mendapatkan harga 250 rupees, mungkin karena kami orang asing dimata mereka, seenaknya pula mereka menggenjot harga sekuat-kuatnya. Perjalanan memang cukup jauh, melewati batas kota Delhi, tepatnya di ujung selatan kota Delhi. Hampir satu jam kami baru tiba di depan Bahai Temple itu. Sayang, ketika kami tiba, Lotus Temple itu sedang dalam masa penutupan untuk umum hingga satu setengah jam ke depan. Jadilah kami menunggu sambil mengantri giliran masuk.

Ternyata banyak juga pengunjung yang datang, kebanyakan dari kami adalah orang lokal yang nampaknya menjadi pengikut kepercayaan ini. Bahai tidak bisa dibilang agama, ia hanya dijadikan simbol sebuah kepercayaan, layaknya Sikh, temple yang berbentuk teratai cantik berwarna biru muda itu hanya sebuah ajaran dimana menempatkan berbagai agama dan kepercayaan dalam satu  pertemuan silahturahmi. Kepercayaan yang menganut paham perdamaian ini konon sudah diakui oleh badan dunia UNESCO, beberapa tempat peribadatannya juga sudah tersebar dibeberapa negara berkembang lainnya seperti di Sydney, Uganda, Panama, Jerman, AS dan lainnya.

Bangunan utamanya nampak berdiri megah di tengah taman dan kolam yang luas. Seperti saat masuk ke masjid, alas kaki harus dibuka, kami lebih memilih membawa alas kaki kami ke dalam ransel yang kami bawa, karena beratus pasang alas kaki nampak tergeletak begitu saja diteras halaman, atau harus menitipkan pada petugas dengan biaya sebesar 20 rupees perorang.

Hari menjelang senja, kami bergegas kembali ke Connaught Place untuk makan malam, lagi-lagi kami memilih makan di Mc.D sekitaran inner circle, sebelum akhirnya kembali ke flat dan tidur nyenyak karena kelelahan. (Zee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com