Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indian Coffee House dan Mahendi

Kompas.com - 15/04/2011, 15:43 WIB

KOMPAS.com - Flat ini makin penuh orang saja kiranya, malam tadi rupanya ada beberapa anggota  couchsurfing lain yang datang dan akan tinggal disini untuk beberapa hari, saking lelahnya kami tak tahu mereka datang. Ajang perkenalan pun dimulai setelah kami selesai membersihkan diri, ada Ruth, Fab, Alex dan Raghu. Perbincangan makin seru, dan mereka mengajak kami untuk hangout bersama ke sebuah Indian Cafe di bilangan Connaught Place. Berhubung tidak ada agenda penting hari ini, tentu saja kami langsung menerima ajakan mereka.

Pada pukul 09.10 pagi lantaslah kami meninggalkan flat, kami memutuskan berjalan hingga stasiun Metro terdekat di Janakpuri West Station, matahari mulai menampakan taringnya, meski jalan tak terlalu jauh tapi tubuh kami semua mulai dikujuri keringat, Raghu yang merupakan Indian blasteran Kenya, mengajak kami mampir di tukang jus pinggir jalan. Awalnya kami ragu untuk ikut menikmatinya, kami takut air yang digunakan tidak higienis. Tapi Raghu meyakinkan kami tentang kualitas air matang yang digunakan, ternyata mantap juga rasa jus buah disini. Jenis jus yang disajikan juga lebih bervariatif, ada yang di mix, ada pula yang dibuat seperti lassi, atau fruit yoghurt, konon lebih banyak peminatnya dan lebih bervitamin. Segelas jus jambu dihargai hanya 10 rupees.

Tak lebih dari satu jam, kami tiba di Connaugh Place dengan Metro Train. Sesuai perjanjian kami sepakat akan duduk bersama di Indian Coffee House saat makan siang nanti, karena Raghu dan Ruth harus pergi ke Railway Station untuk membeli tiket perjalanan menuju beberapa kota tujuan mereka selanjutnya. Kami, Alex dan Fab memilih hangout di Cafe Coffee Day atau Starbucknya India. Mengingat belum sarapan pagi kami dan Fab memesan menu sandwich dan ice coffee sambil bicara ngalor ngidul, dari mulai pengalaman traveling kami hingga isu yang terjadi di negara kami masing-masing.

Tak terasa waktu sudah menunjuk tengah hari, kami bergegas menuju Cafe House yang dimaksud, mencari-cari cafe yang dimaksud tak mudah rupanya, hampir setengah jam kami muter-muter akhirnya disamping bioskop ternama di Delhi kami menemukan cofee house yang dimaksud. Di lantai paling atas rupanya Raghu dan Ruth serta Laurenc sedang menyantap makan siangnya. Perbincangan antar traveler memang mengundang iri dan semangat, terutama untuk bertraveling, trend baru para backpacker adalah working holiday, alias jalan-jalan sambil kerja, tapi kebanyakan mereka tak mau ribet dan memilih undertable. Ide yang bagus untuk selalu bertraveling ria.

Hari beranjak sore, hangout kami sudahi karena beberapa dari mereka juga memiliki acara lainnya, Alex memilih untuk melewati malam ini di Jama Masjid, karena malam ini bertepatan dengan malam Takbiran Idul Fitri. Kami memilih kembali ke flat karena besok pagi agenda penting kami dimulai, bertemu dengan bapak duta besar.

Seperti biasa, kami pulang dengan menggunakan Metro Train dan turun di Tilak Nagar Station yang dekat dengan bazaar rakyat, untuk membeli beberapa keperluan mandi. Tak ubahnya seperti kawasan perbelanjaan di Jakarta ketika menjelang lebaran, bazaar tradisional di bilangan Tilak Nagar juga nampak ramai dikunjungi orang yang berbelanja. Di sebuah toko kosmetik dan perlengkapan sehari-hari, kami mendapatkan banyak wanita yang berbelanja atribut perhiasan tubuh, khususnya atribut wanita India, seperti bindiya, sindur, gelang kaki dan sebagainya. Tak jauh dari tempat kami berpijak, terlihat juga banyak wanita yang sedang mengantre membuat mahendi tangan dan kaki di beberapa tukang mahendi yang berada di tepian trotoar toko.

Kami tertarik melihatnya, mengamatinya, dan akhirnya mencobanya, dengan melalui penawaran yang sangat ketat, akhirnya kami diberikan harga 75 rupees untuk membuat mahendi di tangan, sebenarnya harga pembuatan Mahendi tersebut tergantung pada besar kecilnya area tubuh yang akan dilukis, untuk corak yang tidak terlalu besar mereka mematok harga 50 rupees kepada kami.

Lelaki yang menjadi ahli ukir mahendi itu kemudian memberikan kami rekomendasi gambar-gambar yang dimilikinya, tapi selera India nampaknya cenderung kepada seni yang ramai, dengan macam-macam ukiran, dari mulai gajah hingga burung-burung dan gambar istana serta pasukannya. Tentu saja kami tidak memilih aneka ragam yang terlalu banyak coraknya, kami mencoba 1 corak ukiran berbentuk burung-burung.

Tak lama kemudian  laki-laki muda itu mengoleskan sejenis minyak ke tangan kami, yang konon gunanya untuk membuat warna mahendi makin bagus dan mencolok. Tak lama sang pelukis Mahendi tersebut mulai berkelana di tangan kami dengan sejumput tinta mehendi cair yang dibuat dalam plastik berbentuk kerucut. Lincah sekali jemarinya mengukir ukiran yang dimaksud, jelas saja, menurutnya ia sudah menjadi perajin Mahendi sejak 6 tahun lalu.

Kami mulai menari-narikan jemari kami ketika ia usai melukis. Nampak indah, kami jadi merasa seperti calon pengantin India yang besok akan menggelar pernikahan, yah begitulah tradisi kuno India menganggapnya, untuk sebagian orang India terdahulu, pemakaian Mahendi di tangan khusus untuk para mempelai pengantin, tapi pada zaman sekarang ini Mahendi umum digunakan pada acara apa pun, terutama pada saat upacara keagamaan tiba.

Sepanjang jalan pulang kami terus saja mengamati lukisan Mahendi di tangan kami, tak sabar untuk melihat hasilnya, berharap angin berembus kencang untuk membantu proses pengeringannya. Sampai di flat kami tak henti-hentinya memamerkan mahendi baru kami. Ruth dan John juga Shiva memujinya, tapi mereka mengatakan fakta bahwa harga Mahendi tak semahal itu, biasanya untuk ukuran tangan hanya 25 Rupees, ah sial, kami tertipu.

Tapi kami pikir lagi-lagi kami ini turis, wajar saja mereka menaikkan harga sedemikian rupa. Sudah satu jam berlalu sambil ngobrol, kami sudah tak sabar mengelupasi bagian tinta yang mengering, tapi kemudian Shiva memberi tahu kami, bahwa untuk proses pembentukan Mahendi agar memuaskan, paling tidak harus dikeringkan selama 2 sampai 3 jam, lalu langsung di bilas dengan air, dan tidak perlu dikelupasi. Tujuannya agar warnanya tetap melekat. Dan benar saja, setelah mengikuti saran mereka kami mendapatkan warna Mahendi di tangan kami sangat menarik, warnanya menjadi coklat gelap. Shiva mengatakan, semakin hari warnanya akan semakin terang menjadi orange hingga pudar dalam beberapa hari kedepan, minimal 5 hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com