Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebun Fantasi Karya Neck Chand

Kompas.com - 03/05/2011, 13:10 WIB

Seorang penjaga loket yang kami temui, menunjuk seorang perempuan tua yang sedang menjaga pintu gerbang masuk Rock Garden, ketika kami menanyakan dimana kami dapat membeli tiket. Kami heran, cara pembayaran macam apa, padahal di loket tersebut tertulis harga tiket, yang kami pikir merupakan loket tiket. Dan kami lebih heran lagi ketika ibu tua yang lagi asyik “nyirih” (India: Pan) itu malah balik menunjuk ke loket yang tadi kami datangi, bahkan ia mendorong-dorong kami menuju loket tersebut. Kontan saja kami marah-marah dengan petugas loket tiket tersebut. Kesel kami gak cuma sampai disitu, si wanita penjaga loket itu ganti ngomel-ngomel kepada kami dengan bahasa Hindinya yang jelas-jelas kami tidak mengerti. “India.. India.. so incredible banget..,” gumam kami sambil berlalu.

Sirih di tangannya tak jua di singkirkan oleh wanita pemeriksa tiket itu ketika kami menyodorkan tiket kepadanya. Sambil cengar-cengir bahkan ia berusaha memamerkan bibir merahnya yang masih penuh dengan pan bercampur air liurnya yang hampir menetes. Arghhh, kami cuma bisa bergidik melihatnya sambil berlari kecil menjauh. "Ada-ada aja emang India ini," keluhku. Kota ini boleh dibilang modern, tapi orang-orangnya tetap saja terlihat khas dengan ke'norak'annya itu.

Lepas dari orang-orang norak itu, kebun ini memang nampak unik dengan kelompok taman-taman yang masing-masing khas dengan ornamen-ornamennya. Dari mulai patung-patung berbentuk hewan mamalia, burung, hingga patung berbentuk manusia dan petani dihias dengan tempelan-tempelan yang kesemuanya dari barang-barang tak terpakai. Sebuah taman penuh dengan ornamen-ornamen burung yang badannya dihiasi dengan pecahan gelang-gelang yang biasa sebagai perhiasan wajib bagi perempuan India, hingga menimbulkan efek bulu-bulu burung warna-warni yang mengkilat. Pecahan beling dan keramik juga digunakan sebagai ornamen buat para patung-patung taman yang lainnya.

Di areal kebun 20 hektar ini, juga tersimpan air terjun buatan, akar-akar pepohonan yang dibuat karya unik di tepian jalan, hingga taman utamanya yang berisi “Laughing Miror”, kami diajak tersenyum geli melihat pantulan diri kami di kaca-kaca yang memiliki efek pantulan unik tersebut, lebih unik lagi, materialnya pun berasal dari kaca-kaca bekas yang dirangkai. Nek Chand memang hebat membuat Fantasy Rock Garden ini menjadi ciri khas kota Chandigarh. Tidak hanya anak-anak, para pasangan muda pun nampak menikmati lorong-lorong kecil yang dipenuhi tanaman bunga berwarna-warni.

Hari mulai lewat tengah hari, sudah jam 3 sore, kami pun bergegas kembali ke terminal dengan trayek bus yang sama. Letak stasiun kereta api di kota ini memang agak jauh dari pusat kota, butuh waktu kurang lebih dua setengah jam untuk sampai di daerah Ambala Cant (nama railway station Chandigarh). Seperi layaknya terminal kota di Jakarta, terminal ini juga membagi jalur terminalnya dalam 2 trayek, bus dalam kota dan bus luar kota. Untuk ke Ambala kami butuh naik bus dengan trayek luar kota seperti bus Mayasari Bhakti di Jakarta.

Penumpang makin riuh dan penuh, kami memilih duduk di sebelah sopir, tetap saja harus berdesak-desakkan duduk, tidak hanya orang dengan bawaan banyak, banyak pula eksekutif muda memakai jasa angkutan ini, konon dari seorang pria Punjab yang kami kenal di bus. Menurutnya waktu dua setengah jam pulang pergi ke kantor setiap harinya itu hal yang biasa, tempat kerja yang jauh konon tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap bekerja mencari nafkah. Mengingat banyaknya jumlah pengangguran dibanding lapangan pekerjaan, kalaupun banyak lowongan pekerjaan, tingkat masyarakatnya yang masih jauh dari kecukupan untuk mengenyam pendidikan secara otomatis menyulitkan mereka untuk mendapatkan jenjang pekerjaan yang memiliki status, miris memang.

Lain lagi halnya dengan situasi aneh yang kami rasakan di dalam bus, sedari tadi sejak kami mulai akrab dengan pria Punjab bernama Ajit Singh itu. Sopir bus ini nampak sekali tidak senang, apalagi dari obrolan kami, sopir itu tahu bahwa Ajit mengundang kami ke rumahnya bersilahturahmi. Sopir itu bahkan dengan logat India yang kasar nampak memarahi Ajit, dan selau melambaikan tangannya kepada kami, seperti isyarat untuk kami tidak menerima tawaran tersebut. Kami jadi berpikir keras antara kebaikan yang ditawarkan Ajit dengan maksud marah sang sopir.

Perjalanan ke Ambala tak terasa masuk di jam ke 2, tempat tinggal Ajit sudah semakin dekat. Perang kata antara sopir dengan Ajit masih sering terjadi. Kami jadi semakin ragu untuk menerima tawaran Ajit mampir ke rumahnya, tapi wajah polosnya membuat kami bimbang. Iming-iming ia akan mengantarkan kami ke stasiun Ambala Cant setelahnya.

Akhirnya kami indahkan, Ajit turun dan mengajak kami turut serta, sekali lagi kami menengok ke si sopir, masih dengan nada gregetan. Ia mengisyaratkan kami untuk tetap stay di tempat. Sungguh kami bingung menyikapinya, padahal kami ingin sekali mengenal keluarga Punjab disini meski barang sejam-dua jam saja. Kami kemudian berpikir lebih safety. “Maaf lain kali saja kami singgah ke rumahmu,” itulah yang akhirnya kami ucapkan saat Ajit memaksa kami turun.

Bus masih berjalan menyusur keramaian, nampaknya kami akan segera tiba di pusat daerah Ambala. Si sopir kemudian tersenyum-senyum, mengangguk-angguk dengan bahasa Hindinya ia bicara pada kami, entah apa yang ia bicarakan yang pasti ia nampak senang karena kami tidak turun bersama Ajit. Kami mencermati mimiknya yang serasa baru lepas dari kandang macan, kami pun mengucap “Sukriya” saat penumpang bus mulai turun di terminal Ambala.

Mencermati keadaan sekitar, kami seperti berada di tengah riuhnya terminal Pasar Senen Jakarta, mirip sekali, tapi kawasan ini lebih tidak teratur, dan jelas jauh dari kata bersih. Stasiunnya yang membuat mirip lokasi Pasar Senen, tepat berada di seberang terminal busnya. Kami bergegas bergabung pada kerumunan orang yang mulai berdesakan di antrean tiket, karena bukan highseason, proses pengisian formulir tiket hingga pembayarannya berjalan sangat lancar. Train ticket “Chatisgarh Express” ala sleeper class kami dapatkan seharga 360 Rupees per orang.

Tepat pukul 21.20, kereta sleeper Chatisgarh Express dari platform 5 telah melaju meninggalkan state of Haryana Punjab, 12 jam ke depan menuju kota Agra, dimana satu dari 7 keajaiban dunia masih anggun tertata, yah Taj Mahal, we are coming!! Kami mengakhiri malam di kereta dengan beberapa potong Indian biskuit yang sebelumnya kami beli di Chandigarh. Sengaja, makan malam ini kami memilih untuk ngemil saja, selain menghemat, juga karena persediaan makanan kecil kami masih banyak. (Zee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com