Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menembus Dinginnya Dieng...

Kompas.com - 10/05/2011, 09:20 WIB

Tiba-tiba ada seorang Bapak berkumis dan berjaket tebal mendekati kami. Ia menawarkan naik motornya ke kawah. Dia minta Rp 10.000, tapi kami menawar dengan alasan menurut petugas loket tarifnya hanya Rp 5.000. Akhirnya dia setuju dengan harga itu asalkan langsung dibonceng berdua, jadi semotor bertiga. Jadi intinya satu motor tetap Rp 10.000. Ya sudahlah kami setuju.

Melewati pos masuk Kawah Sikidang, kami tidak berhenti untuk membayar karcis. Saya penasaran dan bertanya, “Kok nggak berhenti, Pak?” Lalu dia menjawab, “Tadi saya bilang mbak-mbak ini saudara saya yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sini, jadi ndak usah bayar. He-he.. Kalau ada yang bertanya bilang saja Mbak ini saudaranya Pak Mustaqim.” Akhirnya sejak detik itu kami resmi menjadi saudara Pak Mustaqim. He-he…

Sesampainya di kawasan kawah, kami turun dari motor. Pak Mustaqim memberikan nomor ponselnya dan menyarankan supaya nanti SMS saja kalau kami sudah mau pulang. Nanti dia akan menjemput lagi ke sini dan mengantar sampai hotel dengan tarif yang sama. Kami pun setuju. Lalu kami bersenang-senang dan ‘mandi asap’ di Kawah Sikidang. Brrrr…udaranya super dingin... Saya kurang persiapan, pergi ke Dieng tanpa membawa jaket tebal, kaus kaki, dan sarung tangan. Saya hanya mengandalkan sebuah cardigan yang sedikit menghangatkan.

Waktu menunjukkan hampir pukur 5 sore ketika akhirnya kami dijemput lagi oleh Pak Mustaqim. Di perjalanan pulang, ia bertanya apakah besok pagi kami mau melihat sunrise. Kami benar-benar tidak punya informasi mengenai hal itu sebelumnya. Maka ia menawarkan untuk antar-jemput lagi besok. Katanya justru turis-turis asing yang menginap di Dieng itu salah satu tujuannya ingin melihat matahari terbit di Puncak bernama Sikunir. Kami pun bersemangat dan langsung setuju.

Berburu Sunrise di Puncak Sikunir

Mampir di Telaga Cebong Udara di Dieng benar-benar dingin. Jangankan untuk mandi, berwudhu saja menjadi perjuangan tersendiri. Setiap air menyentuh kulit, rasanya ngilu seperti ditusuk-tusuk. Pagi itu saya terbangun sebelum adzan subuh. Ponsel saya berbunyi, ternyata itu adalah panggilan dari Pak Mustaqim. Katanya pagi itu langit cerah dan kita jadi menuju Puncak Sikunir. Senang sekaligus prihatin mengingat outfit yang tidak mendukung. Akhirnya saya pinjam kaus kaki teman, lalu mengenakan pakaian beberapa lapis. Setelah selesai solat Subuh, Pak Mustaqim sudah menunggu di depan hotel.

Saya agak lupa berapa lama waktu yang ditempuh dari hotel ke Sikunir. Tapi yang jelas membayar Rp 30.000 per orang untuk perjalanan itu sangat sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Lagi pula lokasinya cukup jauh dan medannya agak sulit. Jalannya jelek dan naik-turun. Sepanjang perjalanan di motor, kaki saya rasanya mati rasa, kaus kaki tipis itu tidak cukup menghangatkan.

Kami sampai di area pendakian sekitar jam lima lewat sedikit. Pak Mustaqim menemani kami naik sampai ke Puncak. Hmm.... lumayan nih melatih kaki lagi setelah lama tidak mendaki gunung. Sesampainya di Puncak, selalu ada sensasi yang luar biasa. Pemandangannya sangat indah. Dari Puncak Sikunir, terlihat Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, serta pemukiman di mana terlihat rumah-rumah dan perkebunan membentang. Kami harus menunggu beberapa saat di Puncak sampai matahari muncul dengan cantiknya.

Sekitar pukul 7 kami turun dari puncak untuk menuju ke telaga Cebong yang terletak tak jauh dari jalan menuju puncak. Kami sekalian berjalan kaki ke sana karena kebetulan Pak Mustaqim memarkirkan motornya di dekat telaga. Udara pagi yang sejuk dicampur sinar matahari yang belum lama terbangun, membuat udara dingin Dieng sedikit terhangatkan. Telaga Cebong memantulkan bayangan dari pepohonan dan bukit-bukit di sekitarnya, melengkapi keindahan pagi itu.

Candi Arjuna

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com