Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Empang-Banggo "The Walker" Tertantang

Kompas.com - 27/06/2011, 17:43 WIB

KOMPAS.com - Rute dari Empang ke Banggo di daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) begitu menantang bagi Herman "The Walker" Wenas. Sudah lewat satu bulan saat Herman memulai perjalanannya dari Bali untuk keliling dunia. Rencananya, ia akan berjalan kaki berjalan kaki sejauh 30 ribu kilometer melewati 25 negara. Ia melakukan hal tersebut untuk memecahkan Guinness World Record sekaligus menggalang dana untuk hak-hak anak.

Selama sebulan ini, ia telah menempuh perjalanan sekitar 400 kilometer. Sebelum memulai perjalanan ia akan mencari informasi sebanyak mungkin untuk mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin dihadapi di perjalanan. Tak terkecuali rute Empang-Banggo.

"Beberapa informasi yang saya kumpulkan rada membingungkan, karena saling bertolak belakang. Sebagian bilang aman, sebagian lagi bilang sering terjadi perampokan," katanya kepada Kompas.com, Minggu (26/6/2011).

Tantangan lainnya, menurut Herman, adalah kondisi medan. Beberapa ruas jalan sebelum memasuki Banggo merupakan tanjakan dan dalam proses perbaikan. Bahkan informasi yang ia terima mengenai kondisi tanjakan itu adalah pernah ada kejadian bus yang masuk ke jurang dan tidak bisa diambil lagi karena kondisi yang terlalu curam. Akibatnya bus hanya dibiarkan begitu saja.

"Juga daerah itu berupa tebing, di satu sisi dan sisi lainnya jurang. Menurut saya itu rawan longsor. Dan, memang sempat terbukti walau dalam skala yang nggak terlalu heboh, tapi sempat bikin sport jantung juga," ceritanya. Apalagi kondisi fisik Herman yang agak sulit untuk area tanjakan.

"Khususnya di rute tanjakan yang harus berdampingan dengan truk dan bus. Karena dari hasil check up tahun 2006 lalu, saya memiliki kondisi 'septum deviasi' yaitu tulang di rongga hidung kiri tumbuh menutup rongga. Sehingga saya bernapas hanya dengan rongga hidung kanan. Lalu jaringan di tenggorokan saya mengendor sehingga kadang menutup tenggorokan yang berakibat saya sering sulit bernapas, khususnya pada saat tidur (sleep apnea atau sleeping disorder)," katanya.

"Namun sebenarnya hal ini tidak hanya terjadi pada saat tidur melainkan juga pada saat tidak tidur, khususnya ketika dalam keadaan heavy breathing atau bernapas cepat. Untuk kondisi terakhir tadi, saya sempat betul-betul tersiksa saat menanjak. Bukan karena tanjakannya tapi karena ketika kebutuhan bernapas saat menanjak saya mau tidak mau menutup hidung supaya tidak menghirup debu dan asap kendaraan secara langsung," lanjutnya.

"Yang sering terjadi karena ketika menutup hidung malah membuat saya tidak bisa bernapas. Dalam keadaan tersengal-sengal jaringan di tenggorokan justru nggak kompak dengan keinginan bernapas, malah menutup saluran nafas! Ujung-ujungnya, waktu tidak bisa bernapas saat menanjak, saya terpaksa buka mulut lebar-lebar dan penutup hidung untuk bisa dapat udara, yang sudah campur dengan debu yang pekat dan CO2 dari asap kendaraan," tambahnya.

Ada pelajaran penting yang ia petik dari kejadian tersebut yaitu penyesalannya karena pernah merokok waktu masih SMA dan kuliah. Ia curiga merokok menjadi salah satu faktor penyebab. Karena, lanjutnya, problem di tenggorokan muncul beberapa waktu setelah ia mulai aktif merokok. "Saya sudah berhenti sekitar tahun 1989-1990, tapi akibatnya masih saya tanggung sampai sekarang," sesal Herman.

Di perjalanan yang sama, ia sempat bertemu dengan rombongan turis. "Mereka saya kasih julukan being at the wrong time, at the wrong place tourist. Waktu itu di tanjakan antara Ampang dan Banggo yang sedang dalam perbaikan, saya berpapasan dengan serombongan turis berkulit putih yang juga berjalan kaki dari arah berlawanan. Saya sempat tertarik untuk mengajak berbincang tapi kemudian setelah dekat, saya melihat wajah 'manyun' mereka. Bahkan ketika saya berupaya menyapa ramah hanya dibalas dengan anggukan sekilas," ceritanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com