Tradisi moci mulai berakar seiring lahirnya pabrik-pabrik teh di wilayah Tegal sejak tahun 1950-an. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal, saat ini terdapat enam perusahaan teh dengan 2.823 tenaga kerja.
Keenam perusahaan teh tersebut adalah PT Gopek Cipta Utama, PT Gunung Slamat, PT Tunggul Naga, PT Dua Burung, PT Podo Joyo, dan PT Asli. Merek yang dihasilkan pabrik-pabrik teh itu dan kini dikenal luas di masyarakat antara lain Teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, dan Teh Gopek. Khusus untuk minuman teh poci dibungkus kecil-kecil seberat 9-10 gram, yang dibagi dalam beberapa kategori, yakni teh wangi, super, dan teh melati.
Aroma wangi yang berasal dari campuran melati tersebut tidak lepas dari keberadaan kebun melati di pesisir Kabupaten Tegal, Pekalongan, dan Batang.
Hidupnya tradisi moci juga ditopang keberadaan empat pabrik gula (PG), yakni PG Pangkah (Kabupaten Tegal), PG Jatibarang, PG Banjaratma, dan PG Kersana—tiga pabrik yang terakhir di Brebes yang berdiri sejak zaman Belanda. Dua dari empat PG tersebut masih eksis, yakni PG Jatibarang dan PG Pangkah, yang memproduksi gula batu yang menjadi pemanis minuman teh poci. Perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX di Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, juga hadir sejak tahun 1889.
Hiruk-pikuk pertumbuhan pabrik gula tersebut adalah potret kerakusan maskapai dagang VOC dan penjajah Belanda. Gula, beras, lada, kopi, kapas, nila, kunyit, dan kayu gelondongan adalah komoditas yang dirampas dan digunakan untuk membangun Negeri Kincir Angin itu pada masa silam (lihat Eksotisme Jawa, Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa 1768-1806, John Joseph Stockdale, Progresif Books, Yogyakarta, 2010, halaman 159-171).
Jadi, kebiasaan minum teh dengan poci, menurut Nurngudiono, juga seiring berkembangnya sentra industri logam dan perkapalan serta perkebunan tebu dan teh di wilayah Tegal.
Menurut Nurngudiono, tradisi moci konon dimulai dari para buruh kebun teh yang mengolah daun teh menjadi minuman teh dalam poci menggunakan gula batu. Minuman para buruh itu dikenal dengan nama ”teh intjip” dan biasanya hanya tiga lembar daun yang diseduh di air panas.
Poci yang menjadi wadah tempat minuman teh poci tersebut diproduksi masyarakat di daerah Grabahan, Talang, Tegal. Warna pocinya pun agak kehitaman.
Berkumpul bersama melepaskan penat seraya minum teh poci yang dilakukan buruh perkebunan, buruh pabrik, perajin logam, hingga nelayan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. ”Bahkan, almarhum Piet Ardijanto yang terkenal dengan puisi-puisinya dan cerpenis SN Ratmana berasal dari Tegal. Mereka itu pencinta moci,” kata Josua Igho, seniman musik di Tegal. Dua dalang hebat, Ki Slamet Gundhono dan Ki Enthus Susmono, adalah asli Tegal dan bagian dari komunitas negeri poci itu.
Sedemikian lekatnya nama dan tradisi moci dalam kehidupan masyarakat Tegal, dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan pun kemudian muncul istilah mantu poci dan sunat poci. Mantu (menikahkan) poci digelar seperti hajatan pernikahan umumnya, yakni harus ada mempelai pria dan perempuan yang disimbolkan dengan poci. Poci besar biasanya simbol mempelai pria dan poci kecil mempelai perempuan. Mantu poci dan sunat poci dilakukan orangtua yang tidak memiliki anak, tetapi ingin menyelenggarakan hajatan seperti mantu dan sunatan.
Pengakuan teh poci sebagai identitas Tegal diberikan kalangan seniman Indonesia berupa antologi puisi Dari Negeri Poci 1-4. Penyair Handrawan Nadesul menyebut kumpulan puisi tersebut lahir dari spontanitas penyair Indonesia yang bernostalgia di Tegal. Sementara sastrawan F Rahardi membela buku itu sebagai pemberontakan penyair pinggiran terhadap pusat sastra....