Di luar ribut-ribut soal Pulau Komodo yang jatuh pada komodofikasi, komodifikasi atas komodo, kita mengikuti pemberitaan bagaimana Pemerintah Indonesia ingin mengajukan tiga naskah kuno ke dalam daftar Ingatan Dunia 2011 UNESCO. Ketiga dokumen itu ialah Babad Dipanagara, Nagarakertagama, dan Naskah Drama Mak Yong (Kompas, 15/11/2011).
Sementara itu, situs Muaro Jambi yang terancam hancur karena penambangan juga telah lama diajukan sebagai bagian dari warisan budaya dunia UNESCO (Kompas, 14/11/2011). Tari Saman saat ini pun sedang menanti pengakuan dari UNESCO yang sebentar lagi akan melaksanakan sidang komite antarpemerintah di Bali (Kompas, 31/10/2011).
Dalam kategori ini, Indonesia telah memiliki sejumlah kekayaan yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda: wayang, keris, batik, dan angklung. Menurut pengakuan salah seorang yang ikut terlibat dalam pengurusan administrasi ihwal pengajuan obyek budaya Indonesia ke UNESCO, masih banyak warisan tak benda lain yang juga akan didaftarkan kepada UNESCO.
Sebelumnya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada April 2011 mengajukan delapan obyek pariwisata kepada UNESCO untuk mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia. Delapan obyek pariwisata itu adalah Candi Trowulan (Jawa Timur), Candi Muaro (Jambi), Situs Batujaya (Jawa Barat), Candi Muara Takus (Riau), Kawasan Pegunungan Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan), Bangunan Tradisional Nias Selatan, Tana Toraja (Sulawesi Selatan), dan Lanskap Budaya Bali (Kompas, 23/4/2011). Saat ini Indonesia telah memiliki tiga warisan yang telah diakui UNESCO: Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Prasejarah Sangiran.
Apa yang kemudian terjadi ketika UNESCO sudah memberi pernyataan bahwa sejumlah kawasan di atas dan obyek budaya lain diakui sebagai warisan di tingkat internasional?
Kompas
Saya setuju sekali dengan Muhidin tentang bangsa yang tak bermental perawat itu karena dari tulisannya kita mendapat gambaran sangat jelas. Buku yang jadi salah satu cermin peradaban suatu bangsa dan perpustakaan yang menjadi tempat pengumpul pengetahuan serta cerminan pengetahuan yang dihasilkan dari suatu zaman saja diperlakukan dengan demikian tak berharga; bagaimana kita akan menghargai dan mau merawat kebudayaan tradisional atau lanskap suatu wilayah yang lebih banyak dihargai wisatawan luar negeri ketimbang mereka yang datang dari dalam negeri sendiri?