Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alas Mentaok, Joglo, dan "Omah" Kalang

Kompas.com - 09/12/2011, 11:15 WIB

Oleh: Aloysius B Kurniawan & Thomas Pudjo Widijanto

Pada mulanya adalah sebuah hutan belantara bernama Alas Mentaok. Hutan ini dihadiahkan Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, kepada Ki Ageng Pemanahan setelah Arya Penangsang, musuhnya, ditaklukkan Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan. Bagi Hadiwijaya, menyerahkan Alas Mentaok bukanlah keputusan yang mudah.

Raja yang naik takhta tahun 1568 ini sempat ragu-ragu sebelum melepaskan tanahnya kepada Pemanahan. Sebab, sesuai ramalan Sunan Giri, Mentaok kelak akan berkembang menjadi kota besar dan pusat politik Mataram, yaitu Kotagede.

Kekhawatiran Sultan Hadiwijaya ini dipaparkan sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, almarhum G Moedjanto dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, terbitan Kanisius, Yogyakarta (1994). Dan benar, seiring perkembangan zaman, Kotagede yang awalnya hanyalah hutan belantara, akhirnya mengalami proses transformasi luar biasa menjadi sebuah kerajaan sekaligus pusat ekonomi.

Kotagede yang merupakan pusat Kerajaan Mataram mendapat landasan kokoh ketika putra Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijawa atau Senopati ing Alaga, mulai bertakhta dengan gelar Panembahan Senopati (1575-1601). Hingga sekarang, makam Panembahan Senopati di Kotagede masih terawat dan selalu dijaga para abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo.

Berada satu kompleks dengan makam Panembahan Senopati terdapat Masjid Mataram atau sering disebut Masjid Keraton Kotagede. Sama seperti Kerajaan Mataram lainnya, Kerajaan Mataram Kotagede dibangun dengan konsep Catur Gatra Tunggal, di mana kompleks kerajaan selalu terdiri dari empat bangunan pokok, yaitu keraton, alun-alun, masjid, dan pasar. Sisa empat poros bangunan kerajaan itu masih bisa disaksikan, seperti masjid dan kompleks makam Kotagede.

Dilihat dari sejarahnya, Kotagede menjadi saksi perguliran sejarah periode awal Kerajaan Mataram yang masih kental dengan nuansa Hindu, kemudian masuk periode Islam hingga masa pendudukan Kolonial Belanda. Karena itu, di Kotagede bisa ditemukan bangunan-bangunan yang memiliki ornamen-ornamen sesuai dengan zaman pembuatannya.

Pemerhati seni, budaya, dan pariwisata Kotagede, Muhammad Natsir, mengatakan, corak atau ornamen bangunan-bangunan kuno menunjukkan periode masa pembuatannya. Sebagai contoh, ukir-ukiran pada bangunan joglo memiliki corak sesuai periodenya, yaitu Jawa-Hindu, Jawa-Islam, dan Jawa-Kolonial.

Bangunan joglo pada periode Jawa-Hindu memiliki ornamen berupa ukiran daun-daunan, sulur-suluran, bunga teratai, dan gambar binatang. Kemudian, joglo periode Jawa-Islam memiliki ukiran dengan ornamen kaligrafi Islam. Sementara itu, joglo periode Jawa-Kolonial ukir-ukirannya berupa mahkota kerajaan Belanda dengan perpaduan besi, jendela besar, atau kaca patri khas Barat.

Perubahan periode zaman juga terlihat dari perubahan fungsi senthong tengah (bagian tengah dalam rumah joglo). ”Di zaman Jawa-Hindu, senthong digunakan sebagai tempat pemujaan Dewi Sri dan tidak digunakan untuk tidur. Namun, di zaman Jawa-Islam, senthong berubah fungsi menjadi mushala dan dimanfaatkan untuk shalat. Di zaman Jawa-Kolonial, fungsi senthong semakin tidak jelas karena ruangan ini bisa digunakan untuk bekerja, tidur, atau apa pun,” kata Natsir yang juga Ketua Yayasan Kanthil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com