Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Masa Kejayaan Batik di Laweyan

Kompas.com - 20/12/2011, 16:02 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KAMPUNG Laweyan di Surakarta, Jawa Tengah memang identik dengan batik. Sejarah menunjukkan kemasyhuran Laweyan sebagai kampungnya juragan batik sudah dimulai sejak awal abad ke-20. Sampai dengan tahun 1960-an, sekitar 90 persen penduduk di kampung ini adalah pengusaha batik dan sisanya para karyawan yang mengerjakan pembuatan batik.

Tetapi batik di Laweyan pernah mengalami pasang surut. Batik, terutama batik tulis dan cap, mengalami degradasi sejak kemunculan batik cetak. Menurut Juliani Prasetyaningrum, pemilik batik Mahkota Laweyan, sejak awal tahun 1980-an batik tulis dan batik cap kalah bersaing dengan batik cetak yang harganya jauh lebih murah.

Kemerosotan batik terus berlanjut sampai tahun 2000 diikuti dengan memudarnya pamor Laweyan sebagai sentra industri batik. Sebagian besar produsen batik banting setir menekuni bidang lain. Baru pada tahun 2004 Laweyan kembali berdenyut setelah dibentuk Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan yang diketuai oleh Alpha Fabela Priyatmono yang tak lain adalah suami Juliani.

Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKB) lalu mendapat bantuan dari pemerintah kota Solo untuk menata kembali Laweyan. "Saat kampung ini dicanangkan kembali sebagai kampung batik hanya ada 18 pengusaha yang tersisa, namun sekarang sudah lebih dari 50 pengusaha," katanya.

Kini masa-masa kejayaan kampung Laweyan sebagai sentra batik sudah mulai kembali meski tidak seperti dulu. "Dulu rumah-rumah kami sudah seperti gudang batik, semua pembeli datang bahkan berebut memesan batik. Para juragan batik tidak perlu berdagang ke pasar," kata wanita yang mewarisi usaha batik dari orangtuanya ini.

Seiring dengan makin banyaknya pengunjung yang datang ke kampung ini, gairah para pengusaha ikut meningkat. "Sekarang sudah banyak produsen batik yang membuat showroom di rumahnya sehingga kampung ini bisa disebut sebagai kawasan wisata," paparnya.

Juragan kaya

Masa kejayaan Laweyan sebagai sentra industri batik, termasuk kehidupan para produsennya bisa kita intip saat ini. Kelurahan Laweyan yang luasnya sekitar 24,5 hektar ini memiliki ciri khas arsitektur bangunan serta tembok-tembok tinggi yang mengelilingi rumah penduduk.

Menurut cerita M Sifa Ulkarim, pemandu wisata yang menemani kami, pada zaman dahulu penduduk Laweyan yang mayoritas juragan batik ini adalah orang-orang kaya. "Mereka membangun tembok tinggi selain untuk menghindari perampok, merahasiakan motif batik dari saudagar lain, juga sebagai simbol status karena tak mau kalah dengan lingkungan keraton," paparnya.

Begitu larisnya industri batik saat itu, menurut Sifa, bahkan penghasilan setiap hari seorang saudagar batik terkaya pada saat itu yakni Haji Samanhoedi setara dengan gaji satu bulan Gubernur Jenderal Belanda yang berkuasa di Surakarta saat itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com