Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Setengah-setengah ala "Negeri Gajah"

Kompas.com - 12/01/2012, 03:30 WIB

Membangun industri wisata, apalagi di sebuah kota metropolitan seperti Jakarta, memang tidak mudah. Begitu heterogennya masyarakat kota sehingga sulit menyatukan visi-misi bersama. Terlebih ketika hampir semua warganya masih berkutat mencari rezeki untuk hidup layak. Namun, benarkah demikian?

Jika mau berkaca kepada negara tetangga, tepatnya di Thailand, jawabannya sederhana saja. Membangun industri wisata hanya butuh niat dan dukungan kuat dari pemerintah. Dengan menyiapkan berbagai regulasi, fasilitas, dan menempatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama, pembangunan wisata perkotaan bisa dilaksanakan, sekaligus memajukan tiap-tiap kawasan. Terbukti kebijakan Pemerintah Thailand mampu mengatasi masalah, bahkan ketika negara itu berada di titik terendah keterpurukan.

Ketika banjir besar melanda sebagian Thailand selama hampir dua bulan penuh, Oktober-November 2011, roda industri wisata di ”Negara Gajah Putih” itu nyaris lumpuh. Pada November saja, sesuai data dari The Tourism Authority of Thailand (TAT), sekitar 300.000 calon wisatawan mancanegara membatalkan rencana kunjungan ke negara tersebut.

”Itu suatu ancaman, apalagi bagi negara kami yang lebih dari separuh pendapatannya berasal dari industri wisata. Kami harus segera berbenah. Pertama, memastikan kebersihan semua tempat pascabanjir dan sarana-prasarana mobilitas warga setempat normal kembali. Tidak mungkin melayani wisatawan jika warga sendiri belum terlayani,” kata Chumpol Silapa-archa, Deputi Perdana Menteri dan Menteri Pariwisata dan Olahraga Thailand, 13 Desember lalu, di hadapan perwakilan media massa se-Asia Pasifik.

Sebuah evaluasi cepat dilakukan terhadap lokasi-lokasi banjir. Salah satu hasil evaluasi adalah pembangunan pesat tanpa memperhitungkan keseimbangan alam memicu banjir. Ayutthaya, sebuah provinsi sekitar 2 jam perjalanan dari Bangkok, merupakan kawasan yang paling parah diterjang banjir.

”Ayutthaya dari dulu memang rawan banjir dan sebenarnya ada kanal-kanal mirip di Jakarta sebagai penampung dan mengalirkan air. Namun, selama puluhan tahun, kanal diabaikan dan ditutup menjadi kawasan industri. Sekarang kawasan ini menuai akibatnya,” kata Indra Nugraha dari TAT Indonesia.

Saat berkesempatan mengunjungi Ayutthaya, tepatnya di Distrik Bang Sai, 15 Desember lalu, dampak banjir terlihat jelas. Meskipun seluruh luas jalan penghubung antarkota di provinsi ini ataupun ke kawasan lain sudah bersih dari lumpur, hamparan sawah padi beratus hektar masih terendam air. Di beberapa titik terdapat timbunan pohon tumbang dan barang-barang, termasuk mobil, yang rusak terendam air.

Sederet rencana revitalisasi kawasan langsung ditetapkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat agar Ayutthaya yang terkenal dengan situs-situs bersejarah agama Buddha berusia ratusan tahun, seperti Wat Mahathat yang diakui sebagai World Heritage, bangkit kembali. Untuk jangka pendek, dipastikan areal persawahan bebas dari rendaman banjir dan memastikan musim tanam bisa dimulai Januari 2012 ini.

Pusat kerajinan Bang Sai, yang didirikan Ratu Sirikit awal tahun 1990-an, segera diaktifkan kembali dengan menampung petani-petani miskin mencari penghasilan sampingan sebagai perajin. Tak lupa jaminan ketersediaan fasilitas toilet bersih di setiap obyek wisata.

Bangkok aman

Kota Bangkok sendiri selama banjir melanda Thailand sebenarnya cukup aman. Thanawan Kasee, Assistant Director TAT, mengatakan, pusat kota Bangkok dan Bandara Internasional Suvarnabhumi bebas dari genangan. Yang sempat tergenang parah adalah bandara domestik Don Muang.

”Yang terkena banjir adalah permukiman di pinggiran Bangkok, termasuk Don Muang. Sementara di pusat kota, perkantoran, pusat perbelanjaan, jaringan MRT atau subway, juga kereta cepat ke bandara dan bandaranya sendiri bebas banjir karena sistem saluran air yang efektif,” katanya.

Namun, pertengahan Desember itu atau kurang dari satu bulan pascabanjir, lalu lintas penerbangan domestik sudah beroperasi normal kembali. Seperti halnya lalu lintas kereta api antarkota dan antarnegara, seperti menuju Malaysia dan Singapura di Stasiun Hua Lam Phong, Bangkok, telah ramai kembali seperti sedia kala.

Cepatnya Thailand pulih pascabanjir karena kuatnya dukungan Raja Bhumibol. Pada 4 Desember lalu, bertepatan dengan ulang tahun ke-84 Raja Bhumibol, segenap rakyat Thailand, khususnya di kawasan yang dilanda banjir, dipimpin oleh sang raja turun ke jalan melakukan bersih-bersih. Tak sampai sepekan kemudian, semua denyut perekonomian di Bangkok normal. Mulai dari pedagang kaki lima di lapak-lapak pinggir jalan hingga restoran-restoran mahal di gedung tinggi merebut kembali pelanggan lokal dan wisatawan asing.

”Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar bencana banjir besar tidak lagi terjadi. Namun, yang pasti jangan sampai rakyat disuruh terlalu lama berkubang dalam masalah dan kesedihan akibat bencana,” kata Chumpol, sekaligus mengumumkan kepada dunia spirit baru negaranya yang bertema ”Beautiful Thailand”.

Tak kalah slogan

Bagaimana dengan Indonesia atau dalam cakupan lebih kecil, Jakarta? Potensi wisata Jakarta dan sekitarnya tak kalah dari Bangkok. Makanan tradisional kita beragam dengan cita rasa yang jelas mampu bersaing. Di Jakarta ada wisata sejarah seperti Kota Tua hingga tradisi Betawi sampai eksotika Kepulauan Seribu. Belum wisata belanja seperti Tanah Abang sampai Mangga Dua. Ada pula Bogor-Puncak-Sukabumi dengan wisata alam dan beragam santapan dan tradisi Sunda.

Namun, kenapa turis asing masih minim? Secara umum, ada 7,7 juta kunjungan wisatawan asing ke Indonesia selama 2011 dan sebagian di antaranya pasti singgah di Jakarta. Di Thailand, total kunjungan wisata mancanegara sepanjang 2011 mencapai 18 juta orang.

Indra mengatakan, masalah utama yang dihadapi wisatawan di Jakarta atau Indonesia adalah sarana transportasi. Di Thailand, seperti di Bangkok, dari satu tempat wisata ke tempat wisata lain bisa ditempuh dalam hitungan menit karena ada jaringan kereta. Padahal, kota itu juga menghadapi masalah kemacetan sama parahnya dengan Jakarta. Namun, warga punya pilihan, mereka bisa memilih kendaraan pribadi atau subway yang bebas macet. Jaringan jalan layang dan tol telah terbangun lebih masif dari Jakarta.

Bandingkan dengan Jakarta yang berslogan Enjoy Jakarta, tetapi pembangunan transportasi umum nyaman dan berjaringan luas terus terkendala lemahnya komitmen bersama. (NELI TRIANA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com