Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sop Buntut di Kala Hujan

Kompas.com - 19/01/2012, 09:25 WIB

Oleh: Nur Hidayati & Yulia Sapthiani

Hujan deras baru reda. Menyisakan jalanan basah dan udara lembab. Menyantap sop buntut panas—dengan paduan rasa gurih, manis, dan pedas—benar-benar menyuntikkan gairah ke badan yang penat.

Sop buntut pasti bisa disebut sebagai salah satu masakan Indonesia paling populer. Olahan buntut sapi dalam kuah sop yang gurih dan segar begitu mudah memanjakan lidah kebanyakan orang meskipun di negeri ini ada beragam selera karena latar budayanya yang kaya.

Susah dipastikan dari daerah mana di negeri ini sop buntut berasal. Masing-masing daerah bisa pula memberi sentuhan rasa berbeda dari resep dasar sop buntut. Bawang putih, lada, dan biji pala biasanya menjadi bumbu dasar sop buntut. Ada pula yang menambahkan kayu putih dan cengkeh.

Pada kuah kaldu yang sudah berbumbu itu ditambahkan sayuran, seperti tomat, wortel, dan daun seledri. Saat sop buntut siap dihidangkan, irisan bawang merah goreng ditaburkan di atasnya, membuat lidah seperti disengat rasa gurih.

Meski jenis bahan dan bumbu dasarnya sama, bukan berarti sop buntut berasa seragam. Ungkapan ”beda tangan, beda rasa” sungguh berlaku. Karenanya di setiap kota atau kawasan bisa jadi selalu ada tempat makan sop buntut favorit.

Begitu pun di Jakarta. Salah satu tempat menyantap sop buntut yang legendaris di Ibu Kota adalah sop buntut yang disajikan restoran di Hotel Borobudur. Menu sop buntut di restoran hotel berbintang lima itu sudah disajikan sejak 1973. Mulanya, staf hotel ”menemukan” kelezatan sop buntut itu setelah mengamati seorang menteri menyantap sop buntut di warung dekat hotel. Akhirnya, warung itu pun ”diboyong” ke restoran hotel.

Sejak itulah sop buntut Hotel Borobudur melegenda. Begitu banyaknya pemburu kenikmatan sop buntut ini membuat Hotel Borobudur membuka Bogor Cafe di Mal Pacific Place dengan menu utama sop buntut.

Sejak dibuka tahun 2010, Bogor Cafe pun tak pernah sepi konsumen, terutama pada jam makan siang. Terlebih lagi kafe dalam mal ini memang berada di kawasan sentrabisnis. Manajemen Hotel Borobudur—seperti disampaikan Direktur Komunikasi Fransiska Kansil—memastikan rasa sop buntut di kafe ini sama nikmatnya dengan sop buntut yang tersaji di Hotel Borobudur karena memang diolah di satu dapur yang sama.

Dapur khusus sop buntut di Hotel Borobudur setiap hari mengirimkan 200-300 kilogram buntut yang sudah diolah matang ke Bogor Cafe Pacific Place. Bahan buntut sapi seluruhnya diimpor dari Australia.

Untuk mendapat daging buntut yang gurih sekaligus empuk sempurna, buntut dimasak selama empat jam dalam empat tahap di dapur khusus sop buntut Hotel Borobudur. Tahap pertama sampai ketiga panasnya 100-125 derajat celsius. Tahap keempat barulah dimasukkan bumbu untuk buntut dan dimasak dengan suhu 85 derajat celsius.

Racikan bumbu dan rempah dalam kuah sudah terasa ”nendang” di lidah. Karenanya, bumbu pelengkap seperti kecap atau sambal tak diperlukan kebanyakan pelanggan sop buntut ini.

”Kami juga memilih kualitas buntut yang tidak terlalu banyak lemak. Tidak akan diterima oleh pihak hotel kalau terlalu berlemak,” ujar Fransiska.

Selain menu sop, juga ada buntut rica-rica, buntut cabai hijau, dan buntut penyet yang menjadi favorit konsumen.

Gurihnya ”Cut Mutia”

Selain sop buntut Hotel Borobudur, Jakarta, juga mengenal sop buntut legendaris lain, di antaranya adalah sop buntut Cut Mutia di Jalan Menteng Kecil I, Jakarta Pusat. Warung sop buntut ini boleh dibilang tak sebesar namanya. Merapat di sebuah gang tak jauh dari Masjid Cut Mutia, Menteng. Namun, antrean mobil para pembelinya bisa ”meluas” sampai ke gedung perkantoran di sekitarnya.

Dengan harga relatif terjangkau, kenikmatan sop buntut di sini membuat lidah ketagihan. Rasa asam segar dari tomat yang lumer dalam kuah kaldunya menjadi salah satu kekhasan sop buntut Cut Mutia.

Hj Dharmawati, pemilik warung ini, masih memasak sendiri sop buntutnya dengan dibantu para asisten. Sekitar 35-40 kilogram buntut dan daging sengkel per hari diolahnya untuk para pembeli. Di warung ini, sop buntut bisa ditambah daging sengkel jika pembeli meminta.

Sop buntut Cut Mutia juga sudah berumur panjang. Ibunda Dharmawati, Hj Nurdjanah, yang berdarah Sumatera Barat, pertama kali membuka warung ini pada 1970. ”Awalnya ada nasi padang juga selain sop buntut. Tetapi, lama-lama sop buntut yang paling dicari. Akhirnya, jadilah spesialis sop buntut,” ujar Dharmawati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com