Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan-jalan di Pecinan Glodok

Kompas.com - 28/01/2012, 17:37 WIB
Endang

Penulis

KOMPAS.com - Hampir setiap kota di Indonesia terdapat pusat ekonomi dan perdagangan, sekaligus sebagai pusat hunian masyarakat keturunan Tionghoa. Begitu juga di Jakarta yang memiliki kawasan pecinan Glodok.

Dalam rangka perayaan Imlek, saya dan beberapa peserta Jelajah Kota Tua lainnya diajak Komunitas Jelajah Budaya untuk berkeliling kawasan Glodok. Bambang, pemandu acara wisata sejarah itu mengajak peserta menyaksikan hiburan di awal perjalanan yaitu pertunjukan barongsai.

Imlek adalah perayaan menyambut datangnya musim semi dengan tumbuhnya pohon Menhwa. Ada sebuah kepercayaan di kalangan etnis Tionghoa yang merayakan Imlek, bahwa jika di malam tahun baru tersebut datang hujan, maka akan mendatangkan rezeki serta kemakmuran yang berlimpah.

Barongsai menampilkan sebuah tradisi kesenian kuno Tionghoa. Dengan musik khas yang dinamis, pertunjukan barongsai berlangsung seru. Peserta diberikan amplop angpau untuk diisi dengan uang dan memasukkannya langsung ke dalam mulut barongsai.

Peserta pun bergantian memasukan amplop ke mulut barongsai yang sedang melakukan pertunjukan. Setelah melihat barongsai, peserta diajak berjalan melihat keindahan arsitektur Tionghoa di Glodok.

Berkeliling dan melihat arsitektur Tionghoa begitu seru. Bentuk rumah warga Tionghoa tergolong unik. Rumah tersebut tertutup rapat dan terdapat teralis besi. Teralis ini dipercaya agar rezeki itu tidak ke mana-mana atau tidak sampai keluar rumah. Di setiap rumah warga juga terdapat tempat penghormatan kepada para leluhur atau para dewa sesuai keyakinan pemilik rumah.

Setelah diperhatikan lagi, ternyata di setiap pintu masuk rumah terdapat benda-benda untuk menolak bala atau sesuatu yang dianggap dapat mendatangkan sial yang masuk ke dalam rumah. Bentuknya macam-macam, ada yang bergambar seperti makhluk bertaring, kaca segi lima, dan benda bertuliskan huruf kanji.

Nah, ada lagi yang lebih unik yaitu “rumah sate” atau sebuah rumah dengan posisi letak seperti tusuk sate. Coba tengok ke atap rumah. Ternyata di atap dipasangkan sebuah guci atau kendi. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak baik. Warga Tionghoa beranggapan hal ini dapat berpengaruh kepada rezeki dari sang penghuni rumah.

Setelah itu perserta diajak ke Klenteng atau Vihara dari Yayasan Bhudi Dharma. Di sana terdapat beberapa lampion dengan kertas bernama. Nama dari masing-masing lampion kertas itu bukan berisi nama-nama orang yang sudah tiada melainkan nama-nama dari mereka yang memberikan lampion ke tempat ini.

Selain Vihara Budhi Dharma, ada juga terdapat Vihara Ariya Marga atau Lamceng Tee Bio. Letak vihara ini berada di sebuah gang kecil. Ada dua buah relief yang terdapat di pintu masuk Vihara Tee Bio.

Pertama, relief seorang raja yang menunggang kuda. Relief yang kedua adalah gambar dari cerita tiga orang raja kakak beradik yang sedang bersengketa tetapi akhirnya dapat didamaikan oleh sang kakak. Mereka memperebutkan kedudukan dari sebuah pohon. Ternyata, tempat terhormat bukanlah pada pucuk pohon tersebut melainkan pada akar dari pohonnya.

Sebelum menuju Klenteng Tang Seng Ong terdapat sebuah sekolah yang dahulunya merupakan pelopor berdirinya pendidikan Budi Utomo. Dahulu sekolah ini digunakan sebagai sebuah organisasi modern di Batavia bernama Tiong Hoa Hwee Koan atau perkumpulan Tionghoa.

Organisasi ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang tidak memberikan pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Akibat pesatnya perkembangan dari sekolah ini maka pemerinta kolonial Belanda menjadikan bangunan sekolah ini sebagai sekolah berbahasa Belanda. Di masa Orde Baru, bangunan diubah namanya menjadi SMU 19.

Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi sebuah kelenteng yang cukup tua yaitu Kelenteng Tang Seng Ong Se. Di bagian depan terdapat ruangan untuk berdoa, di bagian belakang terdapat sebuah kolam ikan dan replika bunga teratai. Patung yang dipajang di atas sebuah altar doa dan dekat kolam mini, adalah tiga tokoh penting yakni Sang Buddha yang diapit oleh Dewi Kuam Im dan Biksu Tong dalam cerita legenda Kera Sakti.

Lanjut ke kawasan pecinan Glodok yang terkenal yaitu Petak Sembilan. Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa dinamakan Petak Sembilan? Dahulu tempat ini merupakan kawasan perdagangan dengan sembilan petak.

Kelenteng yang terkenal dan cukup tua adalah Jin De Yuan dan Toasebio. Bahkan tempat ini sampai sekarang banyak dikunjungi untuk berdoa ataupun sebagai tempat wisata. Selanjutnya, peserta menuju Gereja St. Maria de Fatima.

Di depan bangunan utama gereja itu terdapat dua buah patung singa. Patung singa itu merupakan lambang kemegahan bangsawaan Tionghoa. Konon, di halamannya yang luas terdapat pula pohon sawo kecil dan pendopo Joglo berlantai tinggi, serta dikelilingi pagar bertembok tinggi.

Perjalanan kemudian diakhiri di Museum Mandiri yang juga titik awal dimulainya perjalanan. Sambil makan malam, para peserta menonton film Jakarta tempo dulu dan juga sedikit workshop tentang bagaimana memainkan barongsai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com