”Kami, UNESCO, berharap agar para pemangku kepentingan di Borobudur mampu menciptakan strategi bersama untuk meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata di Borobudur sekaligus menjaga peninggalan bersejarah tersebut” kata Masanori Nagaoka, Culture Programme Specialist UNESCO, di Jakarta, Minggu (29/1).
Menurut Masanori, nama Borobudur sangat terkenal di dunia, tetapi masyarakat sekitar kurang mendapatkan manfaat dari keberadaan candi yang dibangun sekitar tahun 800 Masehi itu. Banyak wisatawan yang datang ke Borobudur di Kabupaten Magelang, tetapi sangat sedikit wisatawan yang mau tinggal lama di sekitar Borobudur karena, selain kurang nyaman, juga minim fasilitas.
Akibatnya, banyak wisatawan yang kembali hari itu juga ke tempat penginapannya di Yogyakarta. Padahal, tidak jauh dari Borobudur yang dibangun penganut agama Buddha Mahayana, terdapat Candi Mendut dan Pawon serta sentra-sentra industri lokal, seperti kerajinan, yang bisa menjadi tujuan wisata berbasis masyarakat lokal.
Menurut data dari Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Borobudur 1.000-2.000 orang per hari. Jumlah ini bisa melonjak hingga 25.000 orang per hari pada saat libur akhir pekan atau libur panjang. Dari jumlah itu, 90 persen wisatawan yang datang berasal dari dalam negeri.
Untuk memajukan masyarakat, UNESCO meneruskan program pemberdayaan masyarakat di sekitar Borobudur. Mereka dilatih untuk menciptakan produk lokal, misalnya cendera mata.
Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Marsis Sutopo mengatakan, pihaknya selama ini memprioritaskan sisi konservasi Borobudur. Dengan jumlah wisatawan yang begitu besar, Candi Borobudur rawan rusak jika jumlah pengunjung yang naik ke candi tidak dibatasi. ”Jumlah pengunjung dibatasi 82 orang yang boleh naik ke stupa utama. Saat menunggu giliran naik, pengunjung akan kami optimalkan berwisata di sekitarnya,” kata Marsis.