Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Kawah Barujari

Kompas.com - 03/02/2012, 09:55 WIB

Oleh: Ahmad Arif dan Agung Setyahadi

Kaki Gunung Barujari hanya sekitar sepuluh meter dari jangkauan saat perahu karet tiba-tiba terasa kempis. Bergegas kami mendayung mencari tempat untuk menepi lalu meniup perahu karet itu. Perjalanan mengarungi Danau Segara Anak kembali dilanjutkan untuk mencari titik pendakian yang memungkinkan ke puncak Gunung Barujari.

Pada sebuah teluk di kaki barat kerucut Gunung Barujari (2.376 meter dari permukaan laut/mdpl), kami akhirnya menepikan perahu dan mendaki. Setengah jam pendakian, jalan berujung pada dinding terjal.

Tumpukan batu lepas seukuran kerbau itu goyah saat diinjak, memaksa kami turun. Perahu kembali didayung mengitari kaki Barujari untuk mencari jalan lain.

Senja telah menjelang. Kami memutuskan kembali ke tenda di seberang danau dan meneruskan pendakian ke Barujari esok paginya. Kabut mulai turun saat kami mulai mendayung. Jarak pandang hanya 5 meter. Permukaan danau yang semula tenang mulai beriak seiring angin senja yang bertiup kencang. Laju perahu tertahan dan ayunan dayung menjadi sangat berat. Tak ada pilihan lain selain mendayung lebih kuat.

Tumbuh sebagai anak gunung api dari dalam kaldera Gunung Rinjani purba, hanya ada dua pilihan untuk mencapai Barujari. Pilihan pertama merayapi dinding terjal. Kami mencoret pilihan ini karena terlalu berisiko dan sudah memakan banyak korban. Tebing kaldera itu nyaris tegak dan untuk menyeberanginya tangan dan kaki bertumpu pada rekahan-rekahan kecil. Jika terpeleset, air danau yang dalam sudah menanti.

Pilihan kedua dengan menyeberangi danau sedalam 230 meter. Namun, untuk itu, diperlukan usaha tambahan karena berarti harus membawa perahu hingga ke Danau Segara Anak di ketinggian 2.003 mdpl.

Sulitnya akses ke Gunung Barujari membuat tak banyak pendaki yang mencapainya. Apalagi, gunung api aktif ini juga merupakan kawasan inti dari Taman Nasional Gunung Rinjani sehingga butuh izin ekstra.

Perahu kami sewa dari Pos Pemantauan Gunung Rinjani di Sembalun Lawang. ”Perahu ini dulu dipakai para peneliti dari Belgia tahun 2008-2009,” kata Mutaharlim, kepala pos. ”Tetapi, tak ada pompanya.”

Kami memutuskan meniup perahu karet berukuran 2,5 x 1,5 meter itu secara bergantian. Dibutuhkan waktu 30 menit untuk meniupnya. Kami juga membuat pelampung darurat dari kantong plastik yang diisi udara dan dijejalkan di dalam tas punggung.

Impian pendaki

Upaya untuk mencapai Barujari telah menjadi impian para penjelajah sejak dulu. Geolog Belanda, Van Bemmelen, menjadi orang pertama yang mencapai Barujari. Pada 1917, dia menyeberangi Segara Anak menggunakan rakit. ”Mendaki ke puncak Barujari jauh lebih berat dibandingkan dengan mendaki puncak Rinjani,” tulis Bemmelen yang mencapai tepi kawah sisi selatan.

Vulkanolog dari Direktorat Geologi (Bandung), Kama Kusumadinata, gagal mendaki Barujari pada 1969. Warga lokal yang mengantarnya gagal membuat rakit, sementara dia tak berani merayapi tebing.

Tahun 1992, Heryadi Rachmat, peneliti pada Museum Geologi, mengarungi Segara Anak dengan dua ban dalam truk yang diikat tali. ”Ban di depan diduduki dua orang yang menjadi pendayung,” katanya.

Ban di belakang diberi jaring dari tali untuk membawa barang-barang dan dinaiki dua orang. Penyeberangan nekat itu tidak dilengkapi pelampung, dayung pun dibuat dari kayu cemara di tepi danau.

”Saya tidak memberi tahu dua porter yang ikut menyeberang bahwa danau itu kedalamanya 230 meter,” ujar Heryadi. Dia baru memberi tahu kedalaman danau itu setelah kembali pada sore harinya. ”Keduanya marah-marah karena merasa ditipu,” katanya.

Gunung aktif

Setelah gagal mendaki pada hari pertama, kami kembali menyeberangi danau esok paginya. Belajar dari pengalaman sehari sebelumnya, saat sore hari Danau Segara Anak berombak dan susah diarungi.

Pagi itu kami menyusuri dinding kaldera sebelah utara menuju jazirah yang menghubungkan Barujari dengan kawah Rinjani tua. Satu jam mendayung, perahu merapat di endapan pasir dan batu di jazirah itu. Dari rekahan batuan di kaki Barujari itu, air panas mengucur deras lalu masuk ke Danau Segara Anak.

Pendakian dimulai dari sana. Batuan lepas dan kerikil membuat pendakian menjadi berat. Setiap dua langkah, kembali turun satu langkah. Barujari yang kerap meletus membuat tubuhnya labil. Terakhir, gunung ini meletus pada 2009 dan 2010.

Sejak dulu, Bemmelen telah mengingatkan, Barujari merupakan gunung api yang aktif. ”Kegiatan kawah Baru ini jauh lebih kuat daripada kawah Gunung Rinjani,” tulisnya.

Setelah dua jam mendaki, kami tiba di bibir kawah Barujari yang berasap. Bunyi gemuruh hampir tak berhenti, seiring bebatuan yang berguguran dari dalam kawah Gunung Barujari yang menganga. Suhu panas terasa menguar dari dalam tanah, menambah terik mentari siang itu yang memanggang. Geletar gempa kerap terasa, seiring dengan batuan di dalam kawah yang longsor.

Menjelang tengah hari kami bergegas menuju perahu, tetapi terlambat, angin sudah bertiup kencang. Kami terus mendayung, mengeluarkan seluruh tenaga. Di sebuah tanjung di tengah pengarungan, perahu terdorong ke belakang meskipun dayung digerakkan sekuat tenaga.

Kami berlindung di teluk kecil, menunggu angin mereda. Namun, semakin sore, angin makin kencang. Tiga kali kami gagal melewati tanjung yang menjadi tikungan angin itu. Perahu terpaksa ditarik dari tepi danau menggunakan tali. Kami berpijak di tepi tebing yang sempit menarik perahu melewati tanjung.

Tanjung akhirnya terlewati, tetapi kabut mulai turun. Tenaga terkuras habis. Saat akhirnya perahu merapat ke tenda, sayup-sayup terdengar alunan merdu tembang dalam bahasa Jawa kuno. Di atas batu di tepi danau, pemangku gunung dari Sembalun, Purnipa, duduk bersila sambil mendendangkan Kumambang Pangerumrum. Langit yang semula berkabut tiba-tiba membuka. Angin berhenti. Ah, kenapa tak sedari tadi berdendang, Pak? (Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com