Sejak dulu, Bemmelen telah mengingatkan, Barujari merupakan gunung api yang aktif. ”Kegiatan kawah Baru ini jauh lebih kuat daripada kawah Gunung Rinjani,” tulisnya.
Setelah dua jam mendaki, kami tiba di bibir kawah Barujari yang berasap. Bunyi gemuruh hampir tak berhenti, seiring bebatuan yang berguguran dari dalam kawah Gunung Barujari yang menganga. Suhu panas terasa menguar dari dalam tanah, menambah terik mentari siang itu yang memanggang. Geletar gempa kerap terasa, seiring dengan batuan di dalam kawah yang longsor.
Menjelang tengah hari kami bergegas menuju perahu, tetapi terlambat, angin sudah bertiup kencang. Kami terus mendayung, mengeluarkan seluruh tenaga. Di sebuah tanjung di tengah pengarungan, perahu terdorong ke belakang meskipun dayung digerakkan sekuat tenaga.
Kami berlindung di teluk kecil, menunggu angin mereda. Namun, semakin sore, angin makin kencang. Tiga kali kami gagal melewati tanjung yang menjadi tikungan angin itu. Perahu terpaksa ditarik dari tepi danau menggunakan tali. Kami berpijak di tepi tebing yang sempit menarik perahu melewati tanjung.
Tanjung akhirnya terlewati, tetapi kabut mulai turun. Tenaga terkuras habis. Saat akhirnya perahu merapat ke tenda, sayup-sayup terdengar alunan merdu tembang dalam bahasa Jawa kuno. Di atas batu di tepi danau, pemangku gunung dari Sembalun, Purnipa, duduk bersila sambil mendendangkan Kumambang Pangerumrum. Langit yang semula berkabut tiba-tiba membuka. Angin berhenti. Ah, kenapa tak sedari tadi berdendang, Pak? (Indira Permanasari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.