Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Lava Tour", Siasat Mereka yang Liat

Kompas.com - 25/02/2012, 11:00 WIB

Oleh Aloysius B Kurniawan dan Aryo Wisanggeni Genthong

Letusan Gunung Merapi tak membuat warga Kinahrejo menyerah. Kisah terkuburnya perkampungan mereka justru menjadi modal untuk membangun kembali kehidupan. Kombinasi antara ikatan sosial yang kuat dan kepercayaan bahwa Merapi akan selalu menghidupi menjadi modal utama mereka untuk bangkit.

Siang itu, di pengujung Desember 2011, suasana bekas Kampung Kinahrejo di lereng Merapi sangat ramai. Jauh lebih ramai dibandingkan dengan sebelum letusan Merapi pada Oktober 2010. Orang-orang yang penasaran datang dari sejumlah kota melihat kondisi Kampung Kinahrejo dan perubahan lanskap Merapi setelah letusan. Di samping itu, yang juga mereka ingin cari tahu adalah kisah tentang Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi yang menolak mengungsi sekalipun Merapi telah meletus.

”Pukul 22.00 saya masih menunggu Bapak di pengungsian, pukul 22.15 beliau belum juga datang. Saya kemudian diajak naik seorang abdi dalem utusan Keraton Yogyakarta. Saat itu, jalanan masih tertutup pepohonan yang tumbang tersapu awan panas,” kisah Asih (45), putra Mbah Maridjan dengan lancar. ”Setibanya di halaman rumah, balai desa terlihat sudah roboh, masjid juga rusak porak-poranda. Tiba-tiba saya melihat tiga sosok tubuh tak bernyawa di halaman. Tiba-tiba saya lemas, saya menangis. Bapak kemungkinan juga bernasib sama.”

Di dalam warung makan di depan bekas rumahnya, Asih menuturkan kisah kematian bapaknya, Selasa, 26 Oktober 2010, akibat terjangan awan panas. Beberapa pengunjung yang tertarik kisah itu terlihat menyimak dengan takzim. Selain menewaskan Mbah Maridjan, erupsi Merapi juga menewaskan 33 penduduk Dusun Kinahrejo lainnya. Bahkan, dua di antaranya hingga kini belum ditemukan.

Tanggal 5 November 2010, Kinahrejo yang hanya berjarak 4,5 kilometer dari puncak Merapi kembali diterjang awan panas. Dusun di wilayah Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, itu makin terkubur material panas.

Rumah-rumah warga rusak. Ternak sapi perah sumber nafkah penduduk mati terpanggang. Sebanyak 174 dari 200 ekor sapi milik warga Kinahrejo mati diterjang awan panas, sedangkan 26 ekor yang tersisa kondisinya kritis—nyaris mati—akibat luka bakar. Padahal, 90 persen penduduk Kinahrejo hidup dari beternak sapi perah. Rumputan hijau kolonjono yang berlimpah saat itu berubah menjadi hamparan bukit pasir gersang. Sebanyak 280 warga Kinahrejo pun kehilangan tempat tinggal. Sebelum erupsi Merapi 2010, para peternak sapi perah Kinahrejo mampu memproduksi 5.000 liter susu sapi setiap bulan. Setelah Merapi meletus, tak ada susu sapi lagi.

Narasi tentang kehancuran dan perubahan bentang alam inilah yang menjadi daya tarik utama wisatawan untuk datang. Awalnya, warga Kinahrejo merasa gerah dengan kedatangan wisatawan yang seolah menjadikan petaka itu sebagai tontonan.

Namun, warga Kinahrejo akhirnya berbalik memanfaatkan rasa penasaran para pelancong itu sebagai modal untuk membangun kembali desanya. Memanfaatkan rasa penasaran dan ingin tahu tentang narasi letusan Merapi dan drama Kinahrejo, warga kemudian menciptakan paket wisata napak tilas bencana atau sering disebut warga sebagai lava tour. Paket ini sebenarnya sudah puluhan tahun dijalani pengusaha dari kawasan wisata Kaliurang—sebelah barat Desa Kinahrejo. Pelopor usaha itu adalah Christian Awuy, pemilik Hotel Vogels di Kaliurang.

Sekarang, lava tour ditangani dan disambut penduduk secara meluas dan sejumlah donatur bersedia membantu dana untuk membangun fasilitas wisata di Kinahrejo.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com