Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Relasi Baru Manusia dan Gunung Api

Kompas.com - 06/03/2012, 08:28 WIB

Oleh Bestian Nainggolan dan Bambang Setiawan

KOMPAS.com - Letusan Merapi 2010 tidak hanya menguak betapa alotnya pergulatan manusia menghadapi bencana. Lebih dari itu, pahitnya dampak yang ditimbulkan turut pula mengubah tatanan sosial yang terbentuk selama ini antara manusia dan gunung api.

Tiada seorang pun menampik keganasan letusan Merapi. Dentuman memekakkan telinga, lontaran bola-bola api, gulungan awan panas yang menyapu hingga 15 kilometer dari puncak, serta puluhan manusia yang hangus begitu jelas dipertontonkan melalui televisi. Jutaan pasang mata terperangah memandangnya.

Mengenaskan memandang dampaknya. Di antara korban ada Mbah Maridjan—juru kunci Merapi. Tak ada yang menyangka, sosok yang kerap dijadikan rujukan aktivitas Merapi itu berakhir. Kepergiannya menjadi klimaks perbincangan Merapi.

Di balik peristiwa, ada yang terpelajari. Hal itu di antaranya tiada yang serba pasti dalam memahami alam. Tiada yang menjamin letusan tak akan terjadi. Tiada pula yang sahih memprediksi kekuatan letusan ataupun dampaknya. Bencana tetap menjadi misteri alam, siap mengintai dan datang kapan saja. Inilah risiko bagi mereka yang hidup di gunung api.

Wedi (32), petani kentang Dusun Bambangan lereng Gunung Slamet, Desa Kutabawa, Purbalingga, Jawa Tengah, kini khawatir. Ia yang turun-temurun bertani sayuran sebenarnya akrab dengan perilaku gunung. April 2009 Gunung Slamet bergemuruh, tiada sedikit pun ia khawatir. Tiap pagi, ia tetap bertani di lereng gunung. Namun, kini berbeda. Setiap Gunung Slamet bergemuruh, ia bergegas turun.

Tidak hanya Wedi ataupun penduduk yang bermukim di lereng Slamet yang kini waspada. Perangkat mitigasi kebencanaan seputaran kawasan Gunung Slamet yang menaungi lima kabupaten: Banyumas, Purbalingga, Tegal, Pemalang, dan Brebes, pun mulai menunjukkan perhatian. Di tataran pemerintahan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) turut memprioritaskan pengawasan Gunung Slamet. ”Lembaganya memang baru, peralatan masih seadanya, tetapi Slamet prioritas,” kata Yuniyanto, Ketua BPBD Kabupaten Banyumas.

Sayang, pengamatan seputaran gunung belum menunjukkan kelengkapan mitigasi kebencanaan. Sangat kontras dengan kondisi di kawasan Merapi, jalur evakuasi dan shelter pengungsian di kawasan Slamet belum tampak. Padahal, gunung api tertinggi di Jawa Tengah (3.436 meter) ini patut diwaspadai. Sejak tahun 2009, letusan abu, lava pijar di seputaran kawah, peningkatan kegiatan vulkanis, dan gempa vulkanik kerap tercatat. Tahun 2009 gunung ini pernah ditetapkan dalam status Siaga.

Yang cukup menggembirakan, perhatian masyarakat terhadap aktivitas gunung semakin tinggi. Beberapa elemen masyarakat hadir. Forum Slamet, misalnya, kumpulan warga yang memiliki perhatian khusus. ”Apa pun keterbatasannya kami harus siaga, Merapi memberi pelajaran,” kata Heri Kisyanto, Ketua Forum Slamet.

Tidak hanya di kawasan Gunung Slamet, masyarakat Kabupaten Wonosobo dan Temanggung sejak Desember 2011 juga benar-benar waspada. Penyebabnya, peningkatan aktivitas Gunung Sindoro. Semula, tiada yang percaya gunung setinggi 3.151 meter yang sejak tahun 1970 dianggap ”tidur” ini menggeliat.

Ketika Sindoro tiba-tiba menunjukkan ketidakwajaran, masyarakat berbondong mengunjungi Pos Pengamatan Gunung Api Sindoro dan Sumbing yang ada di Desa Gentingsari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung. Pos yang semula sepi, hanya ditempati dua petugas, saat itu berubah menjadi pusat keramaian ratusan warga. Para kepala desa, danramil, kapolsek, camat, dan bupati dari kedua kabupaten bersama warga hadir memantau. Dalam catatan pengamatan, sejak 11 Desember 2011 sebagian warga Dusun Gondongan, Kecamatan Parakan, Temanggung, mengungsi menjauhi Sindoro. Langkah antisipasi ini didasarkan pada kekhawatiran terjadi peristiwa seperti letusan Merapi.

Sekalipun kini Sindoro mereda, Amin (54), juru kunci Sindoro di Desa Sigedang, yang menjadi rujukan para pendaki dari jalur Tambi, Wonosobo, mengingatkan, ancaman Sindoro mungkin kembali terjadi. Dalam pengamatan batinnya, geliat Sindoro karena keserakahan manusia merusak gunung.

Dari berbagai daerah di Jawa Tengah yang tengah mawas diri, Kabupaten Wonosobo tampaknya paling sibuk. Baru saja perhatian aparat dan warga tercurah kepada Sindoro, pada 18 Desember 2011 bencana tanah longsor di Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Dieng, Wonosobo, meluluhlantakkan permukiman. Kawasan yang memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat itu memang langganan bencana. ”Nyawa 11 orang terenggut,” kata Eko Sutrisno Wibowo, Ketua BPBD Kabupaten Wonosobo.

Dataran Tinggi Dieng yang terhampar di dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara, menyimpan petaka lain. Selain tanah longsor, semburan gas karbon dioksida (CO2) ataupun karbon monoksida (CO) yang tidak berbau dan berwarna mengancam. Kawah-kawah di Dieng menjadi ancaman. Berbeda dengan kawasan gunung api lain, di Dieng penduduk bermukim hingga kawasan paling berbahaya. Maklum, selain dikenal kesuburan tanahnya, Dieng menjadi pusat wisata andalan.

"Di Kejajar, harga tanah per meter sangat mahal, ada yang Rp 1 juta per meter. Hasil pertaniannya sangat menjanjikan," kata Eko Sutrisno Wibowo.

Berbagai pencegahan bencana kini dilakukan. ”Kami sudah memasang indikator gas beracun. Begitu terdeteksi, secepat mungkin tanda berbunyi,” kata Surip, petugas Pos Pemantauan Gunung Api Dieng, Desa Batur, Kabupaten Banjarnegara.

Mereka sadar betul, sekali luput, Dieng menjadi kawah kematian, seperti yang terjadi pada peristiwa Sinila 1979. Ketika itu, gas beracun menewaskan 149 jiwa. Terakhir, pengujung Mei 2011, di sekitar Kawah Timbang, lebih dari 1.000 jiwa Desa Sumberejo, Serang, Kaliputih, dan Simbung, Kabupaten Banjarnegara, diungsikan.

Dari pengamatan, meski keengganan untuk pindah masih dominan, terlihat penduduk kini lebih mewaspadai aktivitas gunung tempat bermukimnya. Inilah sisi baru kesadaran masyarakat, sekaligus suatu koreksi relasi mereka terhadap perilaku sebelumnya. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com