KOMPAS.com – Ibarat menu paket lengkap, Ambarrukmo Palace Hotel Yogyakarta menawarkan pengalaman lebih berupa wisata budaya tanpa beranjak dari dalam hotel. Ya, hotel ini beruntung karena berada di satu kawasan dengan sisa-sisa Pesanggrahan Ambarrukmo yang juga sering disebut sebagai Kraton.
Sultan Hamengku Buwono V membangun Pesanggrahan Ambarrukmo dan pada tahun 1895-1897, bangunan ini direnovasi oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Awalnya bangunan tersebut digunakan sebagai tempat menjamu tamu. Tempat ini kemudian menjadi kediaman Sultan Hamengku Buwono VII saat turun takhta.
Area Kebon Raja sampai Gandok Kiwa di masa Sultan Hamengku Buwono VII pun berubah menjadi area Hotel Ambarrukmo pada tahun 1966. Sementara area Balekambang sampai Pendopo tidak beralih fungsi.
Tentu saja, budaya khas Yogyakarta yang dihadirkan untuk para tamu. Pertama-tama, tamu akan dipersilahkan berganti pakaian. Perempuan memakai kebaya, sementara para pria memakai beskap.
Kesulitan dengan cara memakainya? Tenang saja, Anda akan dibantu saat memakai baju-baju tradisional khas Jawa tersebut. Nah, lanjutkan dengan memilih aktivitas yang Anda inginkan. Ingin belajar membatik atau belajar panahan. Silahkan saja.
Belajar membatik mungkin sudah sering, coba saja berlatih Jemparing. Jemparing berarti “memanah” dalam Bahasa Jawa. Olahraga kegemaran para Sultan Hamengku Buwono tersebut ibarat meditasi. Melatih kesabaran dan mengolah napas.
Pemanah tidak berada di posisi berdiri, melainkan duduk bersila dan menyamping. Tradisi Jemparing ini sempat pudar seiring zaman berganti. Namun, komunitas Jalantara di Yogyakarta berupaya menghidupkan kembali tradisi ini termasuk menyelenggarakan lomba Jemparing.
Puas menggerakkan tangan dan bergelut dengan pikiran. Kini, saatnya santai dan menikmati secangkir teh atau kopi hangat di sore hari. Eits, jam minum teh ini pun masih dalam rangkaian wisata budaya ala Ambarrukmo.
Bagian Pendopo dari Kraton disulap sebagai tempat menjamu tamu minum teh. Meja-meja pendek dan tikar pandan digelar. Hiasan bunga diletakkan di atas meja-meja panjang. Para tamu pun dipersilahkan duduk di alas tikar. Inilah yang disebut dengan prosesi Patehan.
Patehan merupakan tradisi minum teh yang biasa dilakukan Sultan Hamengku Buwono di Kraton. Saat itu, kebiasaan minum teh tersebut dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada saat jam dua siang dan jam empat sore. Sebutan “Patehan” diambil dari nama salah satu bangsal di Kraton. Pada masa itu, teh disajikan di bangsal tersebut.
Nah, di masa sekarang, Patehan dilakukan di Pendopo. Para pelayan datang dalam rombongan lalu dengan beriringan membawa segala perkakas. Di belakang, pelayan pria membawa tandu. Tandu tersebut berisi aneka minuman dan hidangan teman minum.
Ini ibarat lima abdi dalem perempuan yang dikepalai oleh seorang bekel yang bertindak menjadi pemimpin dalam prosesi Patehan. Para pelayan menggunakan busana khas berupa atasan kemben dengan paduan jarik sebagai bawahan. Dengan bertelanjang kaki, para pelayan mulai bersimpuh membawa teh dan kopi.
Satu per satu tamu dituangkan teh atau kopi sesuai permintaan. Begitu anggun dan terasa magis. Selanjutnya tak lupa, aneka penganan berupa pisang goreng dan singkong goreng sebagai teman minum teh dan kopi. Pengalaman budaya paket lengkap itu seakan membawa tamu merasakan sekejap menikmati sore ala Sultan Yogyakarta. Bukan sekadar wisata, tetapi merupakan ritual dan tradisi yang harus lestari.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.