Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Roller Coaster" Taman Hiburan Rakyat

Kompas.com - 11/03/2012, 04:27 WIB

Oleh Jean Couteau

DPR Indonesia bagaikan kereta roller coaster Taman Hiburan Rakyat. Ada kalanya keretanya memuncak tinggi; ketika itu pemandangannya luas dan keputusannya tercerahkan. Ada kalanya juga ia ”nyemplung” secara tak terduga; ketika itu pemandangannya tertutup dan keputusannya menimbulkan shock.

Agaknya DPR tengah nyemplung lagi. Ulahnya yang terakhir ialah mengurus bagian tubuh terpenting bangsa Indonesia, kaum perempuan. Menurut informasi yang beredar, perempuan anggota DPR serta stafnya dilarang berpakaian mini. Harus ”berpakaian sopan” agar sesuai ”adat ketimuran”.

Menarik, kan? Dan pasti enak didengar oleh kaum perempuan yang bersangkutan bahwa ada jutaan perempuan yang dianggap tidak sopan hanya karena berpakaian mini! Boleh berbicara tidak senonoh, kasar, dan lain-lain, tetapi hal ini semestinya tidak diurus oleh anggota DPR. Yang penting, menurut mereka, lutut perempuan tidak boleh kelihatan.

Mengapa lutut? Tidak jelas. Boleh jadi karena, bagi sebagian–mudah-mudahan kecil—dari anggota DPR, lutut harus dilindungi. Boleh jadi juga karena memang cukup banyak di antara kaum pria bersifat obsesional.

Paling sedikit itulah dugaan sastrawan Maroko Tahar Ben Jelloun, yang menulis bahwa pria-pria tertentu ”mempunyai masalah dengan tubuh perempuan; mereka kelabakan berhadapan dengannya, dan bereaksi seperti pria yang terfrustrasikan...,” kata Tahar.

Sudah maju

Indonesia sudah ”maju” dan tak kurang kaum feminis beriman. Represi atas perempuan tidak mungkin lagi dilakukan atas nama apakah ”kodrat”, ”kuasa patriarki tradisional”, apalagi ”agama”. Maka wahana serangan kaum macho sok moralis itu kini bergeser. Represi dilakukan atas nama ”kebudayaan”, yang seolah-olah netral secara jender: Perempuan diimbau atau dipaksa kembali pada yang disebut ”adat ketimuran”. Tampak luhur, karena mengacu pada identitas bangsa; serta tampak plural, karena Timur beraneka manusianya dan luas wilayahnya. Bahkan terlalu luas.

Pada hemat penulis, wilayah acuannya agaknya terletak di antara Purwokerto dan Wonogiri, meskipun daerah itu belum tentu ideal bagi kaum perempuan—paling sedikit bila kita mengacu pada masterpiece-nya Linus Suryadi, Pengakuan Pariyem. Mencari ketimuran lebih ke timur lagi, adat ketimuran tambah rancu: di ujung Jawa Timur masih ada saja perempuan-perempuan yang mandi telanjang di sungai. Ke timur lagi ada Bali, yang suka didatangi wisatawan-wisatawan Jakarta untuk ”ngintip” bule mandi di Kuta.

Kalau lebih ke timur lagi, di Papua, tak kurang seru. Ternyata di situ, yang paling represif nan obsesional perihal kesopanan perempuan. Coba bayangkan: prianya diwajibkan tidak sekadar menutup, tetapi membungkus bagian paling pribadi dari anatominya. Hal ini sedemikian ditekankan bahwa setiap kali mereka melakukan ”kegiatan adat” di Jakarta, ya, mereka menurunkan celananya dan seketika diganti dengan koteka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com