DPR Indonesia bagaikan kereta roller coaster
Agaknya DPR tengah nyemplung lagi. Ulahnya yang terakhir ialah mengurus bagian tubuh terpenting bangsa Indonesia, kaum perempuan. Menurut informasi yang beredar, perempuan anggota DPR serta stafnya dilarang berpakaian mini. Harus ”berpakaian sopan” agar sesuai ”adat ketimuran”.
Menarik, kan? Dan pasti enak didengar oleh kaum perempuan yang bersangkutan bahwa ada jutaan perempuan yang dianggap tidak sopan hanya karena berpakaian mini! Boleh berbicara tidak senonoh, kasar, dan lain-lain, tetapi hal ini semestinya tidak diurus oleh anggota DPR. Yang penting, menurut mereka, lutut perempuan tidak boleh kelihatan.
Mengapa lutut? Tidak jelas. Boleh jadi karena, bagi sebagian–mudah-mudahan kecil—dari anggota DPR, lutut harus dilindungi. Boleh jadi juga karena memang cukup banyak di antara kaum pria bersifat obsesional.
Paling sedikit itulah dugaan sastrawan Maroko Tahar Ben Jelloun, yang menulis bahwa pria-pria tertentu ”mempunyai masalah dengan tubuh perempuan; mereka kelabakan berhadapan dengannya, dan bereaksi seperti pria yang terfrustrasikan...,” kata Tahar.
Indonesia sudah ”maju” dan tak kurang kaum feminis beriman. Represi atas perempuan tidak mungkin lagi dilakukan atas nama apakah ”kodrat”, ”kuasa patriarki tradisional”, apalagi ”agama”. Maka wahana serangan kaum macho sok moralis itu kini bergeser. Represi dilakukan atas nama ”kebudayaan”, yang seolah-olah netral secara jender: Perempuan diimbau atau dipaksa kembali pada yang disebut ”adat ketimuran”. Tampak luhur, karena mengacu pada identitas bangsa; serta tampak plural, karena Timur beraneka manusianya dan luas wilayahnya. Bahkan terlalu luas.
Pada hemat penulis, wilayah acuannya agaknya terletak di antara Purwokerto dan Wonogiri, meskipun daerah itu belum tentu ideal bagi kaum perempuan—paling sedikit bila kita mengacu pada masterpiece-nya Linus Suryadi, Pengakuan
Kalau lebih ke timur lagi, di Papua, tak kurang seru. Ternyata di situ, yang paling represif nan obsesional perihal kesopanan perempuan. Coba bayangkan: prianya diwajibkan tidak sekadar menutup, tetapi membungkus bagian paling pribadi dari anatominya. Hal ini sedemikian ditekankan bahwa setiap kali mereka melakukan ”kegiatan adat” di Jakarta, ya, mereka menurunkan celananya dan seketika diganti dengan koteka.