Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelajahi Malam di Museum Taman Prasasti

Kompas.com - 10/04/2012, 08:16 WIB

MENGUNJUNGI museum sudah biasa. Namun, mengunjungi museum pada malam hari bisa jadi merupakan hal baru. Apalagi, bila museum yang dikunjungi tersebut Museum Taman Prasasti yang berada di bekas lahan kuburan Kebon Jahe.

Berlokasi di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat, sekitar 75 orang berkumpul di senja yang cerah, Sabtu (31/3/2012). Mereka adalah peserta dan panitia acara Night at The Museum yang diselenggarakan Komunitas Historia Indonesia (KHI). Acara yang dimeriahkan dengan potong tumpeng ini juga untuk memperingati hari jadi ke-9 KHI.

Acara jalan-jalan mengelilingi museum seluas 1,3 hektar itu dimulai setelah suasana gelap. Peserta dibagi dalam tiga kelompok. Tiap kelompok dipandu 2-3 orang. Penunjuk jalan hanya mengandalkan lampu senter yang dipegang pemandu dan beberapa peserta.

Setelah melewati pintu gerbang kayu pembatas areal bekas makam, kami berkumpul di bawah sebuah lonceng. Lonceng ini merupakan replika dari lonceng asli yang kini sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.

Lonceng ini merupakan penanda ada jenazah yang akan dibawa ke makam. Di Batavia, makam ini khusus untuk pejabat dan hartawan Belanda. Pada masa berikutnya ada juga sejumlah warga Indonesia yang dimakamkan di situ, antara lain Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa.

Salah satu nisan yang tergolong ”baru” bertahun 1971 atas nama Joseph Sutianto. Meskipun memiliki nama Indonesia, bentuk nisan beratap hingga lebih dari separuh makam. ”Kemungkinan jasad yang dimakamkan merupakan keturunan Tionghoa,” kata Agung Sugiyanto (20), pemandu kami di kelompok tiga.

Selanjutnya, kami berjalan ke sebuah ruangan. Di situ terdapat dua peti mati. Satu berukir dan satu polos. Peti yang berukir itu pernah digunakan untuk membaringkan jasad Soekarno, Presiden pertama RI. Peti yang satu lagi awalnya disiapkan untuk Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI. Namun, peti itu tidak jadi digunakan.

Tidak hanya dua peti mati saja yang ada di ruangan itu. Juga ada sejumlah foto saat pembongkaran makam dan pemindahan jasad pada tahun 1975-1977.

Pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, Pemerintah Provinsi Jakarta memutuskan menutup makam dan memindahkan jasad yang terkubur ke pemakaman Menteng Pulo. Sebagian kerangka dipindahkan keluarganya ke Belanda, dan ada pula yang diperabukan.

Nisan

Sementara itu, nisan-nisan dari makam masih tetap dipertahankan dan ditata ulang. Sekitar 1.200 dari 5.000 nisan yang ada menjadi bagian dari Museum Taman Prasasti.

Nisan, pada masa itu, menjadi identitas mereka yang dikuburkan. Nisan berbentuk buku ada di makam Direktur Stovia Dr HF Roll. Roll inilah yang mempertahankan Sutomo tetap bersekolah meskipun ada berbagai tekanan dari Pemerintah Belanda untuk menghentikan gerakan Boedi Oetomo yang digagas Sutomo.

Seorang pejabat Belanda yang berjasa memajukan pertanian di Pasuruan, Dirk Anthonius, dimakamkan dengan nisan berukir hasil pertanian dan alat- alat pertanian.

Sejumlah simbol agama Katolik juga terlihat dari lambang di nisan, seperti simbol Alfa-Omega dalam bahasa Latin atau gambar malaikat.

Sejumlah makam memiliki tanda organisasi rahasia Freemanson. Tanda tersebut seperti ular yang melingkar dan menggigit ekornya sendiri, serta tengkorak dan tulang yang berbentuk tanda silang. Sebuah nisan tanpa satu pun keterangan nama terdapat di sudut makam. ”Diperkirakan ini adalah mahaguru Freemanson,” ucap Icha yang juga menjadi pemandu kami.

Sebuah patung perempuan dengan kepala tertelungkup pada tangannya juga ada di kompleks ini. Menurut cerita, makam ini kerap disebut Si Cantik Menangis. ”Perempuan ini menangisi suaminya yang bunuh diri karena terkena malaria. Waktu itu, malaria merupakan penyakit yang menakutkan dan kerap menyebabkan kematian,” papar Agung.

Asep Kambali, pendiri sekaligus Ketua KHI, mengatakan, kegiatan ini merupakan salah satu upaya menyampaikan sejarah dalam bentuk lain sehingga sejarah bukan sekadar bagian dari pelajaran di sekolah yang kerap membosankan.

Lewat kegiatan yang sering diadakan KHI, sejarah menjadi sebuah diskusi dan pengalaman baru yang menarik bagi peserta.

”Kegiatan sejarah seperti ini awalnya iseng. Tapi, sekarang kegiatan ini sudah jadi milik semua kalangan, terutama di Jakarta. Masyarakat di Jakarta membutuhkan kegiatan rekreatif baru sehingga kegiatan sejarah seperti ini diminati juga,” kata Asep.

Dia berharap peserta kegiatan ini kian banyak dan beragam sehingga semakin banyak orang yang mengerti sejarah bangsa dan menghargainya. Pekerjaan ini memang masih berat dan panjang. Apalagi, masih banyak tangan-tangan usil yang mencoret-coret atau merusak nisan di Museum Taman Prasasti.

Kepedulian dan keberpihakan pemerintah, juga dibutuhkan untuk mencegah kerusakan barang-barang sejarah yang masih tersisa di Jakarta saat ini. Bila tidak, bukan tidak mungkin kita harus belajar sejarah Indonesia di negeri orang. (ART)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com