Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkunjung ke Kampung Marapu, Prai Injing

Kompas.com - 19/04/2012, 09:13 WIB

Oleh Frans Sarong

Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur terkenal hingga pelosok dunia karena peninggalan tua berupa kuburan batu dan kampung kuno yang tetap bertahan. Jika Anda ingin menyaksikan jejak peninggalan masa lampau yang masih relatif asli, salah satu pilihannya adalah kampung tua Prai Injing. Bahkan, semua warga kampungnya tetap bertahan sebagai pemeluk Marapu, kepercayaan tua Sumba.

Kampung tua Prai Injing tumbuh di atas punggung bukit di tepi utara Waikabubak, kota Kabupaten Sumba Barat. Sosok kampung yang didukung 38 rumah ini mirip panggung. Sekitar lima rumah bertengger di puncak gundukan di bagian hulu kampung, sebut saja Prai Injing Hulu. Lalu, bagian perkampungan lain di bagian bawah—Prai Injing Hilir—dengan 33 rumah mengepung pekarangan tersendiri.

Di hulu atau bagian hilirnya, semua rumah dalam kelompok itu masih relatif asli. Seperti umumnya di Sumba, bangunan rumah berkolong dengan kerangka atap berbentuk menara. Khusus di Prai Injing, semua bangunan rumah masih beratap ilalang. Begitu pula kuburan batu di pelatarannya, semuanya masih dari batu asli. Ada beberapa di antaranya sudah berusia ratusan hingga ribuan tahun.

Tidak sulit bepergian ke Prai Injing, kampung yang warganya berasal dari tujuh kabisu atau klan, yakni tanabi, wola, wewewa, ketoda dongu, wanokalada, balegolu, dan mamodok. Jaringan jalan beraspal dari Waikabubak berujung di Prai Injing. Pilihan perjalanan lebih leluasa dengan mobil sewaan sekitar Rp 500.000 per hari karena amat jarang ada angkutan umum melintas.

Di sekitar gerbang Prai Injing Hulu, ada wunuto atau sejenis pohon beringin yang tumbuh kokoh, anggun, dan terjaga. Konon bagi mereka yang memiliki kepekaan tajam, berada di sekitarnya langsung merasakan aura magis atau suluk dari keteduhan dan keanggunan wunuto itu.

”Kami semua di sini masih Marapu. Kalau mau sembahyang secara Marapu, tempatnya di sekitar kaki pohon wunuto itu,” tutur Ngongo Kabata Sairo (50), tetua Prai Injing Hulu.

Tentang semua warga kampung yang masih Marapu juga dibenarkan oleh Kaledi Seli Waingu dan Mori Sabha Rute, dua tetua Prai Injing Hilir. ”Leluhur kami Marapu, jadi kami harus tetap Marapu,” ucap Kaledi yang juga berperan sebagai iba kala atau penerima tamu yang berkunjung ke Prai Injing.

”Barangkali Prai Injing adalah kampung tersisa dalam jumlah sangat terbatas di Sumba, yang semua warganya masih Marapu. Sejumlah kampung tua lainnya, ritualnya saja masih Marapu, tetapi sebagian warganya sudah (memeluk) Kristen,” sambung SC Poro, Kepala Dinas Pariwisata Sumba Barat, di Prai Injing, Kamis (15/3/2012). Ia pun tidak keberatan ”menobatkan” Prai Injing sebagai Kampung Marapu di Sumba Barat!

Budayawan Sumba yang adalah biarawan Katolik, Robert Ramone CSsR, menjelaskan, Marapu terbentuk dari dua kata, yakni mar dan apu. Kata mar berarti pencipta semesta dan sumber kehidupan, sementara apu berarti kakek. Marapu bersifat dinamis, roh dan berupa unsur-unsur dinamis. Kepercayaan tua itu intinya mengajarkan keseimbangan hidup bersama alam semesta sehingga manusia di dalamnya dapat mencapai kebahagiaan yang dirindukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com