Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendaki Tujuh Puncak Dunia Berbagi Pengalaman

Kompas.com - 19/04/2012, 16:34 WIB
Indira Permanasari S

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Bagi empat mahasiswa pendaki Mahitala Universitas Parahyangan, Bandung, Sofyan Arief Fesa (29), Xaverius Frans (25), Broery Andrew Sihombing (23), dan Janatan Ginting (23) rasanya seperti bermimpi menuntaskan reli pendakian Seven Summits.

Tuntasnya Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan (Unpar), yang ditandai usainya pendakian Gunung Denali, Alaska, 7 Juli 2011, menggoreskan nama mereka sebagai orang-orang Indonesia pertama, yang menuntaskan pendakian ke puncak gunung tertinggi di tujuh benua.

Seven Summits merupakan rangkaian pendakian ke tujuh puncak gunung tertinggi di tujuh benua yakni Carstensz (4.884 meter di atas permukaan laut/mdpl) di Indonesia, Vinson Massif (4.897 mdpl) di Antartika, Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia, Kilimanjaro (5.895mdpl ) di Afrika, Denali (6.194 mdpl) di Alaska, Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina, dan Everest (8.848 mdpl) di Nepal.

Mereka pula orang Indonesia pertama yang menjejak di Puncak Vinson Massif , di Antartika, kutub selatan bumi. Kesuksesan ekspedisi itu mendudukan Indonesia sebagai negara ke-53 yang memiliki The Seven Summiteer.

Kisah perjalanan mereka menancapkan merah putih di puncak-puncak bersalju itu dituangkan dalam buku Menapak Tiang Langit: Pendakian 7 Puncak Benua yang diluncurkan, di Blitzmegaplex, Jakarta, Kamis (19/4/2012).

Dalam acara peluncuran itu keempat pemuda itu berbagi secuplik pengalaman berkesan, ketika berhadapan dengan alam. Frans, paling terkesan dengan Gunung Denali. Kesulitan menghadang ketika kita turun ke basecamp.

"Kami harus melewati bongkahan es (gletser). Karena suhu agak naik, es merekah-rekah dan berbahaya dilewati," ujarnya.

"Ada pendaki lain yang juga terjebak, bahkan bersiap tinggal seminggu hingga suhu turun. Tetapi, kami yakin glacier itu bisa dilewati asal suhu lebih dingin dan tidak berkabut," tambah Frans.

Mereka pun berencana menyeberangi gletser itu pada malam hari, agar suhu lebih dingin. Sayangnya, malam kedua berkabut. Baru malam keesokannya langit cerah dan mereka berjuang melewati es. " Pendaki lain akhirnya ikut kami dan sampai di basecamp," kata Frans.

Pendaki lain, Janatan Ginting, paling ingat dengan Aconcagua. Janatan sempat tidak diperbolehkan mendaki, karena dokter yang memeriksanya mengatakan ada masalah dengan paru-parunya. " Padahal, saya tidak merasakan sakit apapun. Saya terpaksa menunggu di bawah, sekaligus menjaga komunikasi dengan tim yang naik," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com