Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menapak Puncak Gunung Api Tertinggi

Kompas.com - 29/04/2012, 15:29 WIB

Oleh Prasetyo Eko P, Agung Setyahadi, dan Ahmad Arif

KOMPAS.com - Akhirnya datang harapan, Jumat (2/3/2012) dini hari, Shelter II, 3.071 meter di atas permukaan laut. Hujan dan angin yang mendera sepanjang siang hingga malam telah berhenti, langit cerah berbintang. Suhu 5 derajat celsius masih tertahankan karena angin tak berembus.

Puncak Kerinci, 3.805 meter di atas permukaan laut, sudah di depan mata. Inilah puncak gunung api tertinggi di Nusantara. Sulit membayangkan, gunung api yang menjulang ini muncul dari kedalaman cekungan bumi, sebagaimana disebutkan geolog Belanda, Van Bemmelen (1949). ”Gunung Kerinci muncul dari dalam cekungan besar yang merupakan rangkaian Sesar Besar Sumatera,” tulis Bemmelen.

Hingga awal abad ke-19, kawasan Kerinci masih menjadi misteri bagi kolonial Belanda ataupun Inggris. ”Lembah Kerinci belum diketahui orang Eropa karena letaknya jauh di pedalaman,” tulis William Marsden dalam bukunya, The History of Sumatra (1783).

Padahal, jejak kehidupan di kawasan ini sebenarnya sudah sangat tua. Jejak itu berupa batuan megalitik berukir dan tempayan kubur yang berserakan di sepanjang lembah Kerinci.

Pendakian

Dari hamparan kebun teh ”kayu aro” di Desa Kersik Tuo, lembah Kerinci, pendakian menuju puncak gunung api tertinggi di Nusantara itu kami mulai. Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 ketika kami memasuki batas rimba. Para porter yang mengangkat ransel seberat masing-masing 30 kilogram segera melesat dan hilang di rimbun hutan Kerinci.

Hanya tersisa dua pemandu yang menemani perjalanan menapak lereng gunung yang dirimbuni hutan hujan tropis itu. Midun (28), kepala porter, mengingatkan agar tak terpisah dari rombongan karena hutan di lereng Kerinci ini menjadi salah satu habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Pesan itu mengingatkan pada sosok patung harimau pada Tugu Macan di persimpangan Kersik Tuo menuju Batas Rimba. Sorot matanya tajam, mulutnya menyeringai memperlihatkan sepasang taring runcing. Patung harimau itu tampak mengintimidasi. Ia seperti memberi pesan, ”Sayalah raja di gunung ini!”

Seiring kian parahnya kerusakan Taman Nasional Kerinci Seblat, konflik antara harimau sumatera dan warga kian kerap terjadi. Berdasarkan data lembaga HarimauKita, dari tahun 1998 hingga 2012 terjadi lebih dari 560 konflik. Konflik terbaru, M Syargawi (32), warga Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Jambi, ditemukan tewas akibat terkaman harimau saat mencari kayu di hutan pada 20 Januari 2012.

Memasuki rimbunnya tajuk hutan, kisah itu menghantui benak meski tak ada kabar sebelumnya tentang pendaki Kerinci yang diterkam harimau. Kisah itu berkelindan dengan cerita tentang ”orang pendek” Kerinci yang kerap kami dengar sebelum pendakian.

Riuh suara burung dan teriakan monyet mengiringi langkah kami yang tersaruk-saruk dedaunan dan ranting mati. Pepohonan makin rapat, lumut melapisi kulit kayu mencipta suasana mistis. Matahari tak mencapai lantai hutan, mencipta jalanan temaram.

Perjalanan dari Pintu Rimba hingga Pos III (2.186 mdpl) masih terhitung ringan karena jalur yang relatif landai dan hanya sesekali menanjak tajam. Setelah beristirahat sejenak, pendakian berlanjut menuju Shelter I (2.518 mdpl) untuk makan siang.

Sejak dari sinilah jalan makin menanjak. Terlebih lagi, hujan mengguyur deras, membuat jalur licin dan beban di punggung kian berat. Hutan merapat, pohon-pohon besar menjulang berbalut lumut, membentuk lorong hijau.

Kelelahan membuat kami melupakan soal harimau atau ”orang pendek”, berganti menjadi bagaimana secepatnya bisa menyelesaikan perjalanan hingga puncak. Jalan menanjak tanpa ampun. Bentang hutan lumut dan bunga kantong semar menjadi hiburan.

Jalur menanjak melalui jalan setapak yang telah menjadi parit yang mengalirkan air deras. Beberapa kali kami terpeleset. Jalur ini juga harus melewati kanopi semak dan dahan-dahan pepohonan sehingga harus berjalan membungkuk.

Pantas saja sepanjang pendakian tak sekalipun kami berpapasan dengan rombongan pendaki lain. Hujan yang kerap mengguyur membuat banyak pendaki menunda pendakian.

Akhirnya, bau belerang tercium juga, menandakan kami telah mendekati Shelter II (3.071 m). Setelah mendaki selama sekitar 6,5 jam, kami tiba di shelter ini pukul 16.30 dan membangun tenda di sana. Menginap di Shelter II yang tertutup vegetasi menjadi pilihan terbaik untuk menghindari kemungkinan cuaca buruk, dibandingkan Shelter III (3.291 mdpl) yang terbuka.

Malam itu kami tidur berbalut kekhawatiran karena hujan turun deras. Namun, cuaca berubah cerah saat dini hari, sekitar pukul 03.30, ketika kami bersiap mendaki ke puncak.

Alam yang bersahabat seperti menghibur pendakian berat, melewati parit sempit sedalam 1,5 meter-2 meter dari Shelter II ke Shelter III. Rute ini kami lewati dengan hati-hati karena licin. Jalur pendakian berupa kerikil lepas yang melorot jika diinjak dan berada di gigir tipis diapit jurang. Di beberapa tanjakan, kami terpaksa harus merangkak karena kemiringan lebih dari 45 derajat dan diembus angin.

Pukul 06.00, akhirnya kami sampai pada salah satu atap Sumatera. Di bawah puncak sempit itu, kawah Kerinci selebar 600 meter terus mengepulkan asap. Angin masih memihak dengan menerbangkan asap yang menguar dari kawah menjauh dari tempat kami berdiri.

Dari puncak Kerinci, pemandangan amat memesona: kaldera Gunung Tujuh (1.950 mdpl) menyerupai cermin raksasa memantulkan sinar mentari pagi. Namun, keindahan itu dirusak pemandangan gundulnya sebagian lereng Kerinci akibat perambahan hutan yang meraja.

Baca artikel lebih lengkap Ekspedisi Cincin Api Kompas di http://www.cincinapi.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com