Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Renah Kemumu, Desa Tua di Rimba Raya

Kompas.com - 07/05/2012, 13:18 WIB

Oleh Agung Setyahadi & Ahmad Arif

”Auuum...”. Suara berat memecah riuh hutan. Kicau burung, jerit serangga, dan teriakan monyet menghilang tiba-tiba. Hutan mendadak sunyi. Kesunyian yang mencekam dan menciutkan nyali.

Aleksander (28) berhenti melangkah. Pemuda dari Desa Lempur Mudik, Kerinci, Jambi, itu menoleh ke belakang, memastikan keberadaan seluruh anggota rombongan. ”Ayo merapat, jalan beriringan,” ujar Alek singkat.

Kami berlima baru berjalan tiga jam dari Lempur Mudik saat auman dari Sang Raja Hutan, harimau sumatera (Panthera Tigris sumatraensis) itu terdengar. Suaranya begitu dekat dari jalan setapak di lebat hutan bambu petung (Dendrocalamus asper) di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Auman itu menuntut kami bersiaga sepanjang jalan ke Renah Kemumu, desa tua yang berada tepat di atas garis Sesar Besar Sumatera. ”Renah Kemumu desa yang mungkin tertua di Jambi,” kata arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni.

Menurut Tri, penelitian gabungan tim arkeologi Indonesia dengan para arkeolog Jerman tahun 2008 di sekitar situs megalitik Batu Lauh di pinggir Renah Kemumu menemukan pecahan gerabah berusia 3.400 tahun. Pada tahun 2009, gempa berkekuatan 7 skala Richter mengguncang desa ini. Beberapa rumah rusak, tetapi tak ada satu pun korban jiwa. Warga membangun kembali desanya secara gotong royong.

Kabar tentang desa tua di tengah hutan yang telah berkali-kali diguncang gempa inilah yang membawa kami menapak lebat hutan TNKS pada pengujung Maret 2012 itu.

Tapak harimau

Alek yang menjadi penunjuk jalan mengatakan, Renah Kemumu masih tujuh jam lagi. Radiyal (35), porter dari Lempur Mudik, berhenti dengan napas terengah. Pria bertubuh gempal itu menyandarkan punggungnya di pohon aro yang menjulang.

”Alah tuo,” ujar Radiyal sambil tersenyum jenaka. Dia menjelaskan dirinya sudah tua, tidak sekuat lima tahun lalu. Dulu, jarak 36 kilometer dari Lempur ke Renah Kemumu bisa ditempuhnya dalam delapan jam. ”Kalau sekarang bisa lebih dari sepuluh jam,” katanya. ”Apalagi musim hujan begini.”

Jalan setapak berlumpur itu membuat tapak sepatu lengket. Bahkan, jika salah langkah, bisa terperosok lumpur sedalam lutut. Pohon raksasa yang tumbang kerap kali menghalangi jalan, memaksa kami memutar mencari jalan baru. Pacet dan lintah daun yang bisa melenting menunggu di setiap jengkal langkah. ”Jalan ini biasanya hanya dilalui seminggu sekali saat warga Renah Kemumu menjual hasil bumi ke Lempur,” kata Alex.

Kami sudah enam jam berjalan menembus lebat hutan. Senja menjelang. Aleksander terus saja berjalan. ”Sebelum malam kita harus sampai di pinggir desa,” kata Alek, ”Kalau malam jalan ini dipakai lewat Raja Hutan.”

Terlambat. Sang Raja Rimba sudah berkeliaran di jalan setapak itu. Di turunan panjang menuju Sungai Mendiket Kecil, Alek menunjukkan tapak-tapak kaki harimau yang masih segar.

TNKS menjadi rumah terakhir harimau sumatera yang jumlahnya terus menyusut. Pemangsa di puncak piramida makanan itu populasinya di alam liar tinggal sekitar 500 ekor. Lembaga HarimauKita mencatat, mulai tahun 1998 hingga 2012 terjadi lebih dari 560 konflik antara warga dan harimau. Selama itu pula, lembaga itu mencatat 57 orang tewas dan 46 harimau mati terbunuh akibat konflik ini.

Konflik manusia dengan harimau sumatera sudah berlangsung lama. Menurut catatan William Marsden dalam buku History of Sumatera yang ditulis tahun 1783, ”Jumlah orang yang dibantai harimau sangat banyak. Saya bahkan pernah mendengar tentang sebuah desa yang penduduknya habis dimangsa harimau.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com