Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makan Bersama di Rumah Adat Belitung

Kompas.com - 18/05/2012, 23:34 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com – Rumah adat khas Belitung berupa rumah panggung sudah tidak ada di Pulau Belitung. Begitu tutur beberapa masyarakat Belitung. Namun, jika penasaran seperti apakah rumah adat khas Belitung tersebut, wisatawan dapat mampir ke Jalan Ahmad Yani, Tanjungpandan, Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Di sana, sebuah rumah adat yang sangat besar tampak megah berdiri. Dari kejauhan pun sudah terlihat menyolok. Rumah adat tersebut sengaja dibangun oleh pemerintah setempat agar para anak-cucu dapat mengenal rumah adat Belitung yang sudah punah tersebut.

Rumah tersebut diresmikan di tahun 2009. Jadi memang tergolong rumah baru. Ruma panggong, begitu sebutan masyarakat Belitung untuk rumah panggung. Beberapa menyebutnya juga sebagai ruma gede atau rumah yang besar.

Coba perhatikan jumlah tangga maupun jendela, lalu tiang rumah. Masyarakat Belitung memiliki kepercayaan unik saat membangun rumah. Salah satunya adalah segala sesuatu berjumlah ganjil. Pun begitu dengan rumah adat tersebut.

Tangga depan dan tiang rumah berjumlah ganjil. Sementara jendela di depan rumah ada 3, lagi-lagi ganjil. Jika mampir ke sini, jangan lupa untuk menghitung sendiri.

Masuk ke dalam rumah adat, turis dapat berfoto dengan pakaian adat khas Belitung. Pakaian adat yang dicoba adalah pakaian adat yang digunakan untuk pernikahan disebut dengan pakaian kancing lima. Selain itu, di dinding tampak beberapa foto “jadul” peninggalan Belanda. Beberapa menampilkan rumah-rumah adat yang masih ada di masa itu.

Makin ke dalam, pengunjung dapat melihat bagian dapur yang terbuka. Sementara untuk tempat tidur tidak diberi sekat berupa dinding melainkan hanya dipisah-pisahkan dengan tirai. Kesan lapang pun tercipta dari rumah adat tersebut.

Uniknya, turis yang datang akan mendapatkan pengalaman lebih selain melihat-lihat rumah adat. Datanglah di saat makan siang. Sebab, pihak pengelola menyediakan santapan makan siang dengan cara khas Belitung. Menunya pun masakan tradisional Belitung.

Cara makan tersebut diberi nama “makan bagawa” atau makan secara bersama-sama. Sebuah tradisi makan yang meriah, ceria, dan sarat nilai kekeluargaan. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi yang serupa. Sebut saja tradisi makan bancakan di Sunda, megibung di Bali, atau makan basamo di Padang.

Nah, ada aturan uniknya untuk “makan bagawa”. Makan bersama-sama ini maksimal empat orang untuk satu dulang (wadah nasi dan lauk pauk). Walaupun dalam rombongan besar, tetap saja harus dibagi empat-empat. Lalu perempuan harus bersama perempuan dan laki-laki harus bersama laki-laki.

“Cara penyiapannya pun ada aturannya. Pertama taruh dulu dulang, nasi, baru air untuk mencuci tangan,” kata Yayat, pengelola di rumah adat tersebut.

Kemudian orang termuda dari empat orang yang dalam satu kelompok, harus membagikan piring dan menyendokkan nasi ke piring-piring tersebut kepada tiga orang lainnya. Sementara, orang yang paling tua di dalam kelompok tersebut, boleh mengambil pertama kali lauk-lauk yang tersedia. Begitu seterusnya sampai giliran orang yang paling muda. Bagi turis luar Belitung, acara ini bagi-bagi makanan ini pun mengundang keceriaan tersendiri.

Menu-menu yang dihidangkan biasanya terdiri dari lauk Ikan Pari Masak Kucai, Gangan Darat, Sambal Serai, Ayam Masak Ketumbar Nanas, Satai Ikan, dan sayuran jantung pisang serta daun singkong. Sementara untuk hidangan penutup adalah kue bingke dan kue engkak.

Sesuai namanya, Ikan Pari Masak Kucai menggunakan bahan ikan pari. Teksturnya agak kenyal namun lembut. Sementara untuk gangan biasanya menggunakan bahan laut seperti ikan. Di sini, menu yang disajikan adalah gangan yang menggunakan daging sapi, karena itu disebut gangan darat.

Jangan lupa, makan pun harus pakai tangan. Kelar makan, saatnya mencuci tangan. Wadah mangkuk berisi air menjadi sarana mencuci tangan. Eit, tunggu dulu. Mangkuk yang disediakan hanya satu. Nah, lagi-lagi, orang yang paling tua dipersilahkan untuk “mengobok” tangan ke mangkuk dan seterusnya sampai orang yang paling muda mendapat giliran terakhir.

Lap tangan berupa kain yang tersedia pun hanya satu. Saat melap tangan, ada aturannya pula. Kain lap dilipat sedemikian rupa hingga berbentuk persegi panjang. Lalu orang yang paling tua melap kain di satu sisi, dilanjutkan ke orang yang paling tua kedua.

Setelah itu, kain dibalik ke sisi yang masih bersih. Barulah orang ketiga melap tangan dan orang paling muda mengikuti selanjutnya. Kain lap yang hanya satu maupun mangkuk memiliki makna kebersamaan yang mendalam.

Wisata Kuliner

Untuk merasakan pengalaman kuliner menarik ini, pengunjung harus memesannya terlebih dahulu. Jika tertarik, Anda dapat meminta biro perjalanan setempat atau hubungi langsung dinas pariwisata Belitung untuk dibuatkan paket makan siang dengan konsep “makan bagawa”.

Tentu saja ada minimal jumlah pemesanan. Harga satu paket “makan bagawa” untuk empat orang adalah Rp 160.000. Itu berarti satu orang cukup membayar Rp 40.000. Harga yang terjangkau untuk sebuah petualangan mengesankan saat merasakan kuliner dan tradisi menjadi satu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com