Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengejar Matahari Gili

Kompas.com - 12/08/2012, 04:08 WIB

Di Gili Trawangan timbul dan tenggelam matahari disambut dengan sukacita. Juga ketika gelap datang, dan pantulan keemasan bulan menjadi pemandu langkah. Myrna Ratna

Jafar, pengemudi asal Lombok yang mengantar jemput dari bandara Praya, Lombok, ke Pelabuhan Bangsal, berkali-kali menepikan mobilnya, membiarkan kami menyerap sesaat pemandangan permai yang terbentang di muka. Jajaran pohon nyiur berbaris rapi mengikuti lengkungan garis pantai, melatari laut biru dengan pasir putihnya.

Perjalanan selama dua jam menuju pelabuhan nyaris tak terasa. Deretan perahu bermotor rapi terparkir di dermaga, dekat jembatan penyeberangan yang dibangun seadanya. Ketiga pulau, Gili Meno, Gili Trawangan, dan Gili Air, terasa dekat dari jangkauan. Namun, butuh waktu 15-20 menit untuk mencapainya, itu pun dengan kapal cepat yang berkecepatan penuh. Laut yang mulai pasang pada sore itu membuat kapal meliuk-liuk menghindari terjangan ombak.

Ah, wajah Gili Trawangan terus berubah. Wisatawan asing dengan kulit terbakar matahari ada di mana-mana. Mereka menjejali pinggiran kolam renang, meja-meja kafe yang menghadap ke laut lepas, dan tentu saja jalanan utama pulau yang sempit dan berpasir. Ada yang memanggul tabung selam, papan selancar, ataupun ramai bersepeda.

Kepadatan wisman sudah hampir menyerupai Kuta, Bali. Namun, ada yang ”terselamatkan” di sini. Tak ada bunyi kendaraan bermotor. Yang ada bunyi ketipak kaki kuda, menarik cidomo, semacam delman. Meskipun kadang bau kotoran tercium, para kusir patuh untuk membuat tampungan di keretanya sehingga jalanan relatif aman dari ”ranjau”.

Yang juga membedakan, di sini tak perlu harap-harap cemas menanti kehadiran dan kepergian matahari. Bola merah raksasa itu datang dan pergi tepat waktu, bersih dari kabut dan saputan awan. Dan beginilah cara para ”komunitas pulau” melepas senja. Beramai-ramai berjalan kaki atau bersepeda ke arah barat (hanya sekitar 15 menit), lalu duduk di tepi pantai, atau memenuhi meja-meja restoran yang bersisian dengan pasir pantai. Ada juga yang menggotong meja dan kursi sendiri. Selama setengah jam berikutnya, semua mata terpusat ke arah garis pantai yang warnanya berubah perlahan.

Pesona itu dimulai dengan matahari yang bulat sempurna berwarna merah menyala. Pancarannya membuat permukaan laut luntur kemerahan dan langit diselimuti rona jingga. Bola raksasa itu perlahan turun, membuat siluet kehitaman kapal-kapal yang melintasinya. Sampai kemudian hilang ditelan garis pantai. Warna laut berubah menjadi hitam kebiruan. Namun, secara perlahan permukaannya menjadi keperakan kembali. Menengadahlah ke langit, bulan bulat penuh telah hadir. Juli adalah masa purnama. Kilau cahaya bulan pun menjadi pemandu jalanan setapak yang tak berpenerangan.

Di berbagai sentra keramaian, malam adalah perayaan dengan musik, dansa, dan kuliner laut. Ikan-ikan segar kemerahan yang baru ditangkap dari laut bergelimpangan di atas tumpukan es. Udang-udang gemuk yang permukaannya bening ditumpuk di dekat kelompok kepiting yang masih menggerak-gerakkan capitnya. Tak perlu banyak bumbu untuk membakar ikan dan udang. Kesegarannya sudah memberikan rasa manis dan gurih alami.

Alunan musik sayup terdengar dari setiap sudut pulau. Terbawa angin laut yang berembus lembut. Malam terasa panjang.

Ke timur

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com