Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa Harus Dilakukan 18 Jam di Perancis

Kompas.com - 15/08/2012, 16:04 WIB

KOMPAS.com - Beberapa hari setelah bulan Ramadhan bergulir, berita terangkat di media. Empat orang muslim dipecat karena melakukan puasa. Keempat pemuda muslim itu bekerja atas kontrak walikota Gennevilliers, sebagai pembimbing anak-anak. Perancis adalah negara laicité, negara dan agama terpisah. Semua simbol keagamaan, harus dilepas saat bekerja bagi pemerintahan atau berada dalam lingkungan milik pemerintahan.

Debat, mengenai jilbab hingga daging halal hingga kini terus menggema. Sebagian tak setuju umat Islam mendapatkan prioritas utama dalam menjalankan keyakinannya. Selebihnya, tak peduli. Karena menurut mereka tak mengganggu kehidupan sehari-hari, jadi mengapa harus diributkan.

Pemecatan empat pemuda yang bekerja sebagai pembimbing anak-anak dikeluarkan karena melakukan puasa, tentu saja membuat kaum muslim gundah. Alasan keempatnya yaitu Samir, Moussa, Nassim et Mehdy diberhentikan dari pekerjaan mereka karena dianggap berpuasa membahayakan kesehatan mereka, yang bisa berakibat fatal dalam pekerjaan mereka membimbing anak-anak.

Meskipun mereka mencoba menerangkan jika puasa tak akan membahayakan kesehatan mereka, karena sebelum menjalankan ibadah tersebut mereka telah mengisi tubuh mereka dengan makanan dan minuman. Tak digubris.
Tentu saja hal itu, membuat para pemeluk Islam menjadi marah. Bukan muslim pun menjadi kesal, karena menurut mereka, begitu banyak negara Islam di dunia, yang melaksanakan ibadah puasa setahun sekali, tanpa harus berhenti beraktivitas.

Kaum muslim sendiri mencoba menerangkan, puasa itu juga memakai strategi. Perut tak akan dibiarkan kosong begitu saja. Karena sebelum menjalankan puasa, tentu saja kesehatan harus prima, mengisi tubuh dengan makanan dan minuman penting, dan jika badan tak sanggup menjalankan, maka umat Islam tersebut diperbolehkan membatalkan dan menggantikannya di hari lainnya.

Jadi dalam agama pun tak ada pemaksaan, dan bukan berupa penyiksaan fisik melakukan puasa itu. Tetap saja orang dari wali kota tersebut tak bisa menerimanya. Dan mereka bersikeras, orang yang melakukan puasa, tak akan bisa beraktivitas secara normal. Apalagi dalam kontrak kerja mereka tertera kewajiban bagi, pembimbing dan pengasuh anak harus memperhatikan makanan dan minuman mereka, demi kepentingan pekerjaan.

Hal ini sebenarnya sering mampir di telinga saya. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin, saya tak mengisi tubuh dengan cairan, selama berjam-jam. Padahal suhu di musim panas sangat membahayakan tubuh jika kekurangan cairan.

Dan mereka lebih terkejut lagi, saat tahu anak kami yang baru berusia dua belas tahun, juga ikut melaksanakan puasa. Komentar yang kerap terlontar adalah, ‘bagaimana mungkin, kamu membiarkan anakmu tanpa makan dan minum selama delapan belas jam? tak tersiksakah anak kamu itu?.

Bila saya yang menerangkan, mereka kadang menganggap kami inilah yang memaksa anak kami untuk berpuasa. Kesannya itu loh, kami berdua orang tua yang gimana gitu…

Karena itulah saya selalu memanggil anak saya, agar dirinya sendiri yang menerangkan mengapa dia berpuasa dan apakah berupa paksaan dari kedua orang tuanya. Jangankan teman kami, dari keluarga kang Dadang (David) sendiri pada awalnya, tak setuju. Bukan karena masalah agama, tapi rasa khawatir, anak kami jatuh sakit.

Keluarga suami bingung. Karena bagi mereka mana mungkin seseorang bisa bertahan tanpa minum! Itu yang menurut mereka paling tak masuk akal. Namun setelah diterangkan, saya pun awal mengenal puasa memakai proses. Latihan diri sejak kecil, jam waktunya pun tak langsung penuh, semuanya dilakukan tahap demi tahap. Hingga tubuh menjadi kenal, dalam setahun terbiasa menjalankan ibadah ini, tanpa menganggu aktivitas keseharian.

Dan anak saya Adam, juga mulai berlatih sejak usia sembilan tahun. Tentunya dengan waktu yang menurut kemampuannya, dan juga irama sekolahnya. Karena bagi seorang anak, berpuasa saat bersekolah, sementara kebanyakan temannya tak mengenal Ramadhan, tentu saja sulit.

Karena keluarga dan teman Perancis, sudah terbiasa dengan kegiatan setahun sekali ini, maka kini sudah tak aneh, bagi mereka. Tak ada lagi pertanyaan, tak tersiksakah? tubuhmu tak dehidrasikah? Karena kenal itulah mereka menjadi biasa.

Politik toleransi keagamaan bagi negara Laicité seperti Perancis, tergantung kepada masyarakat di daerahnya. Ada yang menerima dengan mudah perbedaan agama ada juga yang masih kolot.

Bila di kota Gennevilliers, sulit menerima adanya pegawai mereka yang melakukan ibadah keagamaan, di kelurahan tempat saya tinggal, justru tempat olah raga diizinkan untuk menjadi tempat shalat jumat dan kini untuk ibadah tarawih. Karena banyaknya kaum muslim yang tinggal dan masjid kecil tak bisa menampung semuanya. Sementara masjid besar, berada jauh di pinggiran Montpellier. Bahkan buka puasa bersama pun diadakan di taman milik pemerintah (maison pour tous).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com