Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunalisme Luhur di Pesisir Papua

Kompas.com - 16/08/2012, 15:06 WIB

MESKIPUN tanpa bumbu, ikan baronang bakar itu terasa sangat lezat. Bara dan asap dari pelepah dan tempurung kelapa kering memberinya aroma khas yang nikmat. Beberapa pemuda duduk melingkar di sekitar perapian kecil itu.

Tak jauh dari mereka, di tepi pantai berbatu, seorang nenek kurang lebih berusia 65 tahun tengah membersihkan seekor ikan kakap putih yang diterimanya dari mereka.

Ada sembilan ekor ikan diperolehnya dari anak-anak muda itu. Seusai membersihkan ikan tersebut, ia turut menumpangkan kakap putih itu di atas bara perapian.

Dari dalam tas yang disandangnya, nenek itu mengambil dua buah keladi rebus dan diberikannya kepada anak-anak muda itu. Ia mengulurkannya sambil tersenyum riang, menampakkan deretan giginya yang memerah karena kerap memakan sirih-pinang.

Pasir pantai yang hangat dan laut yang menghampar luas melengkapi makan siang sederhana itu.

Snap mor, pesta menangkap ikan belum sepenuhnya rampung digelar di Tanjung Barari, Biak Timur, tetapi karena matahari telah tepat di atas kepala, sebagian warga Biak yang hadir dalam pesta itu beristirahat. Di bawah teduh pohon nyiur, hasil tangkapan dinikmati bersama.

Guyuran air kelapa muda yang diambil dari pohon tempat mereka berteduh serta mengunyah sirih-pinang menggenapi pesta itu. Kebersamaan itu mengingatkan pada kata-kata Nico Morin, seorang staf di Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor.

Ekspresi budaya

Snap mor adalah pesta syukur. Semua warga boleh ikut serta menangkap ikan yang terjebak di perairan dangkal dan telah dipagari dengan jala itu. Biasanya, mereka yang lanjut usia tidak ikut aktif menangkap ikan. Dulu para pemudalah yang menyisihkan hasil tangkapan mereka untuk diberikan kepada orang-orang tua itu.

”Saya ingin melihat apakah tradisi itu masih ada. Atau sebaliknya orang sudah tidak peduli lagi dengan orang lain disekitarnya. Pokoknya saya dapat, sudah,” kata Nico.

Kegelisahan Nico dapat dipahami. Meskipun bagi banyak orang, Biak tidak berubah secara fisik, tetapi empasan budaya baru yang terus mengalir ke pulau karang yang dihuni oleh lebih dari 130.000 jiwa itu dapat mengancamnya.

Persaingan ekonomi dengan pendatang dan upaya pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat perlahan-lahan dapat mengisap habis potensi alam Biak. Namun, meskipun zaman telah berubah, tradisi itu ternyata tetap hidup.

Buktinya, siang itu mereka yang lanjut usia memperoleh berbagai jenis seperti baronang dan kerapu dari para pemuda atau anak-anak yang turun ke laut. Sebagian ikan itu dibakar dan dinikmati bersama.

Ekspresi budaya itu seolah menegaskan apa yang diungkapkan oleh tokoh adat Biak, Mananwir Yarangga, sebagai syukur. Syukur atas berkat itu, menurut dia, tidaklah dialami sendiri, tetapi bersama dengan semua kerabat dan komunitas.

Pada zaman di mana sikap ’demi aku’ unggul daripada ’untuk kita bersama’ toh nilai-nilai komunal itu tetap terjaga. Bagi Mananwir, nilai-nilai kebersamaan itulah yang, menurut dia, menjadi salah satu unsur penting dalam pesta adat atau biasa disebut munara. Hidup tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga dalam intimitas bersama dengan yang lain dan Yang Ilahi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com