Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ayo Bersepeda ke Ujung Kulon!

Kompas.com - 25/09/2012, 10:19 WIB

KALI ini saya bersepeda ke ujung peradaban sebelah barat pulau Jawa. Tujuan saya adalah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Semula seorang diri saja saya jalan, tapi lalu Budi Cahya ikut. Budi adalah teman dekat semasa kuliah di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Dulu kami sering berperahu mengarungi sungai-sungai berarus deras. Setelah lulus kuliah, lama tak bersua, kami dipertemukan kembali oleh sepeda.

Hobi ini baru digeluti Budi sekitar enam bulan terakhir. Setelah divonis menderita diabetes melitus berat lima tahun lalu, Budi mengaku sempat goyah mental. Apalagi mendiang ayahnya juga meninggal karena komplikasi penyakit akibat diabetes.

"Makan-minum jadi gak enak karena serba dibatasi. Saya malah lupa tempat gula di rumah," tutur ayah dua anak yang berprofesi sebagai kontraktor bangunan ini. Ia lalu bangkit dengan pikiran positif dan rajin olahraga, termasuk bersepeda setiap pagi keliling kompleks rumahnya di Bintaro.

Singkat cerita, kami bersepeda ke TNUK berdua. Saya tahu bersepeda sejauh sekitar 300 km ini akan berat untuk Budi. Kami persiapkan diri untuk itu dengan membawa kebutuhan dan obat-obatan yang diperlukan. Lebih dari itu, kemauan kuat Budi mengusir semua kekhawatiran. Jadilah perjalanan ini kami hayati sebagai tirakat melawan diabetes.

Kamis (20/9/2012) malam kami menumpang kereta ekonomi ke Rangkasbitung. Ada beberapa rit kereta Tanah Abang-Rangkasbitung bertarif Rp 2.000 dan yang terakhir berangkat pukul 20.30. Istirahat di sebuah losmen dekat Stasiun Rangkasbitung cukup untuk memulihkan tenaga.

Esoknya, saat fajar menyingsing, kami bergerak ke arah Pandeglang. Sekitar 20 menit jalan kami mampir warung untuk sarapan nasi uduk. Ditengah bersantap, datanglah dua gadis manis ditemani seorang pemuda.

Kedua gadis berambut lurus panjang dengan wajah lonjong, bibir tipis yang rajin senyum, dan hidung relatif mancung. Kulitnya putih bersih membalut tubuh ramping terjaga. Si pemuda juga berhidung mancung, kulit putih, rambut dan matanya kecoklatan sehingga ia dipanggil 'bule' sama temannya.

Perjumpaan dengan ketiga muda mudi ini membuka keingintahuan saya tentang Menes. Kota kecil di ruas jalan Pandeglang-Labuan melalui perbukitan Mandalawangi itu terkenal antara lain karena kaum perempuannya yang rupawan. Di kalangan masyarakat Banten sampai ada ungkapan terkenal soal Kiceup Menes atau kedipan Menes, menggambarkan kecantikan gadis Menes.

Budi yang berkampung halaman di Kampung Karamat, Cikadueun, sekitar 25 km dari Pandeglang ke arah Saketi, membenarkan hal itu. Ia mengatakan, Menes zaman dulu pernah menjadi kantong permukiman tuan tanah Belanda. Ini sejalan dengan banyaknya perkebunan di kawasan Pandeglang hingga Rangkasbitung, terutama kebun karet. Dari hasil perkawinan dengan penduduk lokal lahirlah keturunan yang memiliki ciri khas fisik blasteran.

"Sampai sekarang saya masih suka ketemu orang-orang yang mirip blasteran kalau pulang kampung. Lihat saja nanti kalau lewat," tutur Budi.

Sebagaimana dikutip http://aingorokmenes.wordpress.com/, dari beberapa literatur, ada dua peristiwa masa lalu yang memopulerkan wilayah tersebut menjadi Menes. Pertama, pada tahun 1525-1526 di wilayah tersebut bermukim seorang pedagang rempah-rempah berkebangsaan Portugis yang bernama Don Jorge Meneses atau DeMenes. Kedua, kata ‘Menes’ berarti pula tempat atau sebuah pasar untuk bertransaksi hasil perkebunan. Di tempat tersebut terdapat gudang-gudang penampungan rempah-trempah sebelum diangkut ke pelabuhan ekspor. Tempat itu disebut Blok Menes. (Ahmad Hufad dalam bukunya: Identitas Kekerabatan Orang Banten).

Tapi masih dalam buku yang sama, menurut pandangan beberapa tokoh di Menes, bahwa kata Menes bukan kata yang diserap dari bahasa Portugis, melainkan kata atau bahasa lokal, yakni mones yang berarti aneh atau keanehan.

Biasanya kata Mones dirangkai dengan awal ‘ka’ dan akhiran ‘an’ sehingga menjadi kamonesan. Artinya, keanehan, kepandaian, dan keajaiban yang cenderung bermakna khas dan unik.

Pendapat tersebut didasarkan dua alasan utama. Pertama karakter orang Menes sangat anti terhadap penjajahan orang Eropa. Sangat kuat kecenderungan mereka untuk menolak pemakaian unsur bahasa penjajah pada nama identitas komunitasnya. Kedua, kuatnya pengaruh ajaran Islam terhadap tradisi dan norma hidup dalam masyarakat Menes yang mengakar kuat dengan tradisi leluhur, terutama dalam era kesultanan sunda Islam Banten. Karena itu Menes diyakini sebagai istilah lokal yang terkait dengan mitos kejayaan leluhurnya yang aneh, ajaib, khas dan unik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com